BAB 1
FIKSI: SEBUAH TEKS PROSA NARATIF
1. FIKSI : PENGERTIAN DAN HAKIKAT
Prosa
dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif
(narrative text) atau wacana naratif (narrative discource). Istilah
fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan ataupun cerita
khayalan. Hal ini disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya
tidak menyaran pada kebenaran sejarah (Abrams, 1981:61). Karya fiksi
merupakan suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan,
khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh, sehingga
fiksi itu tidak perlu dicari kebenarannya dalam dunia nyata.
Fiksi
menurut Altenbernd dan Lewis (1966:14), dapat diartikan sebagai “prosa”
naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan
mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar
manusia. Fiksi juga menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia
dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri
sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Namun, perlu juga dicatat
bahwa dalam dunia kesastraan terdapat suatu bentuk karya sastra yang
mendasarkan diri pada fakta. Karya sastra yang demikian, oleh Abrams
(1981:61) disebut sebagai fiksi historis (historical fiction), sedangkan
yang menjadi dasar penulisan fakta sejarah disebut juga fiksi biografis
(biographical fiction) serta apabila yang menjadi dasr penulisan fakta
biografis dan fiksi sains (science fiction) termasuk dasar penulisan
fakta ilmu pengetahuan. Ketiga jenis karya fiksi tersebut dikenal dengan
sebutan fiksi nonfiksi (nonfiction fiction).
Kebenaran fiksi, ada
perbedaan antara kebenaran dalam dunia fiksi dengan kebenaran di dunia
nyata. Kebenaran dalam dunia fiksi adalah kebenaran yang sesuai dengan
keyakinan pengarang, kebenaran yang telah diyakini “keabsahannya” sesuai
dengan pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan. Sehingga
kebenaran dalam dunia fiksi tidak harus sejalan dengan kebenaran yang
berlaku di dunia nyata.
Wellek dan Warren (1989 : 278-9) mengemukakan
bahwa realitas dalam karya fiksi merupakan ilusi kenyataan dan kesan
yang menyakinkan yang ditampilkan, namun tidak selalu merupakan
kenyataan sehari-hari.
2. PEMBEDAAN FIKSI
a.
Novel dan Cerita Pendek. Novel (Inggris: novel) dan cerita pendek
(disingkat cerpen dalam bahasa Inggris: short story) merupakan dua
bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Istilah novel dalam
bahasa Italia novella, secara harfiah berarti sebagai sebuah cerita
pendek dalam bentuk prosa (Abrams. 1981:119). Perbedaan antara novel
dengan cerpen yang pertama, dapat dilihat dari segi formalitas bentuk,
dan segi panjang cerita.
b. Novel Serius dan Novel Populer.
Novel serius tidak bersifat mengabdi kepada selera pembaca dan pembaca
novel jenis ini tidak banyak, sedangkan Novel populer lebih mengejar
selera pembaca dan tidak menceritakan sesuatu yang bersifat serius.
3. UNSUR-UNSUR FIKSI
a.
Intrinsik dan Ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang
membangun karya sastra itu sendiri, meliputi: peristiwa, cerita, plot,
penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya
bahasa dan lain-lain. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di
luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung membangun karya
sastra, meliputi: biografi pengarang, psikologi pengarang, psikologi
pembaca dan keadaan lingkungan pengarang.
b. Fakta, Tema, Sarana
Cerita. Fakta (facts) dalam sebuah cerita meliputi karakter atau tokoh
cerita, plot, dan setting. Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita
dan selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan. Sarana
cerita atau sarana pengucapan sastra adalah teknik yang dipergunakan
oleh pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa
dan kejadian) menjadi pola yang bermakna.
c. Cerita dan Wacana.
Cerita merupakan isi dari ekspresi naratif, dan apa yang ingin
dilukiskan dalam teks naratif. Wacana merupakan bentuk dari sesuatu
(cerita atau isi) yang diekspresikan serta bagaimana cara melukiskannya.
BAB 2
KAJIAN FIKSI
1. HAKIKAT KAJIAN FIKSI
Pengkajian
terhadap karya fiksi berarti penelaahan, penyelidikan atau mengkaji,
menelaah, menyelidiki karya fiksi tersebut. Pada umumnya kegiatan ini
disertai dengan kerja analisis yaitu mengurai karya itu atas unsur –
unsur intrinsiknya. Tujuan utama kerja analisis kesastraan, fiksi,
puisi, atau yang lain adalah untuk dapat memahami secara lebih baik
karya sastra yang bersangkutan dan membantu memperjelas pembaca yang
kurang dapat memahami karya sastra. Dalam rangka memahami dan mengungkap
sesuatu yang terdapat dalam karya sastra dikenal adanya istilah
heuristic dan hermeneutic. Hubungan keduanya dapat dipandang sebagai
hubungan yang bersifat gradasi, sebab kegiatan pembacaan atau kerja
hermeneutic haruslah didahului oleh pembacaan heuristic. Kerja heuristic
berupa pemahaman makna sebagaimana yang dikonvensikan oleh bahasa yang
bersangkutan. Kerja ini menghasilkan pemahaman makna secara harfiah,
makna tersurat, atau actual meaning. Sedangkan kerja hermeneutic berupa
pemahaman berdasarkan makna dari hasil kerja heuristic. Usaha mengkaji
karya sastra pada hakikatnya memiliki kesamaan tujuan, yaitu memahami
secara lebih baik karya sastra. Dalam kajian kesastraan, dikenal adanya
analisis sruktural dan semiotik. Yang pertama menekankan pada adanya
fungsi dan hubungan antarunsur dalam sebuah karya, sedangkan yang kedua
pada pemaknaan karya itu yang dipandangnya sebagai sebuah sistem tanda.
2. KAJIAN STRUKTURAL
Pendekatan
struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme
Praha. Selain struktural, ada juga istilah strukturalisme, yaitu dapat
dipandang sebagai salah satu pendekatan kesastraan yang menekankan pada
kajian hubungan antar unsur pembangun karya yang bersangkutan. Analisis
struktural karya sastra, dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji,
dan mendiskrisikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang
bersangkutan. Analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin
fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara
bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan.
3. KAJIAN SEMIOTIK
Berasal
dari teori Saussure, bahasa merupakan sebuah emiot tanda dan sebagai
suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna.
Semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda
adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa
pengalaman, pikiran, perasaaan, gagasan, dan lain-lain. Teori semiotic
bersifat multidisiplin, dapat diterapkan pada linguistik, seni, sastra,
film, filsafat, antropologi, arkeologi, arsitektur, dan lain-lain.
Perkembangan teori semiotic hingga dewasa ini dapat dibedakan ke dalam
dua jenis semiotic, yaitu semiotic komunikasi dan semiotic signifikasi.
Semiotik komunikasi menekankan pada teori produksi tanda, sedangkan
signifikasi menekankan pemahaman dan pemberian makna suatu tanda.
a.
Teori semiotik Peirce. Teori ini mengatakan bahwa sesuatu dapat disebut
sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda yang
disebutnya representamen haruslah mengacu sesuatu yang disebutnya
sebagai objek. Proses pewakilan tanda terhadap acuannya terjadi pada
saat tanda itu ditafsirkan dalam hubungannya dengan yang diwakili,
disebut interpretant. Proses pewakilan disebut semiosis, yaitu suatu
proses dimana suatu tanda berfungsi sebagai tanda yang mewakili sesuatu
yang ditandainya. Proses membedakan hubungan antar tanda dengan acuannya
kedalam tiga jenis hubungan, yaitu ikon jika berupa hubungan kemiripan,
indeks jika ia berupa hubungan kesepakatan eksitensi, dan simbol, jika
ia berupa hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi. Ikon ada tiga
macam, yaitu ikon topologis, diagramatik, dan metaforis.
b.
Teori Semiotik Saussure. Bahasa sebagai sistem tanda menurut Saussure
memiliki dua unsur, yaitu signifier dan signified, significant dan
signifie, atau penanda dan petanda. Wujud penanda dapat berupa
bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan, sedangkan petanda adalah
unsur konseptual, gagasan, atau makna yang terkandung dalam penanda
tersebut. Ada hubungan yang bersifat linear yang disebut hubungan
sintagmatik, dan hubungan yang bersifat aspsiatif yang disebut hubungan
paradigmatik. Ada juga hubungan in praesentia, yaitu hubungan antar
unsur-unsur yang hadir secara bersama. Tiap satuan cerita disebut
sekuen. Satuan cerita mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi utama adalah
menentukan jalan cerita, sedangkan fungsi katalisator adalah
menghubungkan fungsi – fungsi uatama itu. Hubungan sintagmatik dan
paradigmatik dapat dikaitkan dengan kajian dari aspek waktu. Ada dua
tataran waktu dalam teks fiksi, yaitu waktu dari dunia yang digambarkan,
tataran peristiwa dan waktu dari wacana yang menggambarkan, tataran
penceritaan. Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang
kemudian disebut hipogram atau dapat disebut juga latar, yaitu dasar.
4. KAJIAN INTERTEKSTUAL
Kajian
ini dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks yang diduga
mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan
adanya hubungan unsur-unsur intrinsik. Prinsip intertekstual yang uatama
adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan.
Adanya hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi,
pembacalah yang menentukan ada atau tidaknya kaitan antara teks yang
satu dengan teks yang lain.
5. DEKONSTRUKSI
Pada hakikatnya
adalah suatu cara membaca sebuah teks yang menumbangkan anggapan bahwa
sebuah teks itu memiliki landasan, dalam sistem bahasa yang berlaku,
untuk menegaskan struktur, keutuhan, dan makna yang menentu. Paham
dekonstruksi mula-mula dikembangkan oleh seorang filosof Perancis,
Jacques Derrida, dan kemudian dilanjutkan oleh tokoh – tokoh seperti
Paul de man, j.Hillis Miller, dan bahkan juga Levy-Strauss. Pendekatan
dekonstruksi dapat diterapkan dalam pembacaan karya sastra dan karya
filsafat.
BAB 3
TEMA
1. HAKIKAT TEMA
Tema
(theme), menurut Stanton (1965: 20) dan Kenny (1966: 88), adalah makna
yang dikandung oleh sebuah cerita. Untuk menentukan makna pokok sebuah
novel, kita perlu memiliki kejelasan pengertian tentang makna pokok,
atau tema, itu sendiri. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang
sebuah karya sastra yang terkandung di dalam teks sebagai struktur
semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau
perbedaan-perbedaan (Hartoko & Rahmanto, 1986: 142).
Pertimbangan
pengertian tema utama didasarkan pada pengertian tema menurut Stanton
(1965: 21), yaitu yang mengartikan tema sebagai “makna sebuah cerita
yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang
sederhana”. Tema menurutnya, kurang lebih dapat bersinonim dengan ide
utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose).
2. TEMA : MENGANGKAT MASALAH KEHIDUPAN
Novel
dapat dipandang sebagai hasil,dialog, mengangkat dan mengungkapkan
kembali berbagai permasalahan hidup dan kehidupan tersebut setelah
melewati penghayatan yang intens, seleksi subjektif, dan diolah dengan
daya imajinatif-kreatif oleh pengarang, ke dalam bentuk dunia rekaan.
3. TEMA DAN UNSUR CERITA YANG LAIN
Tema
dalam sebuah karya sastra, fiksi, hanyalah merupakan salah satu dari
sejumlah unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk
sebuah kemenyeluruhan. Tema sebuah cerita disampaikan secara implisit
melalui cerita. Unsur-unsur cerita yang lain, khususnya yang oleh
Stanton dikelompokkan sebagai fakta cerita-tokoh, plot, latar--yang
“bertugas” mendukung dan menyampaikan tema tersebut.
4. PENGGOLONGAN TEMA
Penggolongan tema berdasarkan tiga sudut pandang :
a.
Tema Tradisional dan Non Tradisional. Tema tradisional dimaksudkan
sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam
arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai
cerita, termasuk cerita lama. Pernyataan-pernyataan tema yang dapat
dipandang sebagai bersifat tradisional itu, misalnya berbunyi : (i)
kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan, (ii) tindak kebenaran atau
kejahatan masing-masing akan memetik hasilnya (Jawa: becik ketitik ala
ketara), dan sebagainya. Tema-tema tradisional, walau banyak variasinya,
boleh dikatakan, selalu ada kaitannya dengan masalah kebenaran dan
kejahatan (Meredith & Fitzgerald, 1972 : 66).
b. Tingkatan
Tema Menurut Shipley. Shipley dalam Dictionary of World Literature (1962
: 417), mengartikan tema sebagi subjek wacana, topik umum, atau masalah
utama yang dituangkan kedalam cerita. Shipley membedakan tema-tema
karya kedalam tingkatan-tingkatan semuanya ada lima tingkatan
berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa, yang disusun dari tingkatan yang
paling sederhana, tingkatan tumbuhan dan makhluk hidup, ke tingkat yang
paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh manusia. Kelima tingkatan
tema yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) molekul, man as molecul.
Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) protoplasma, man as protoplasm.
Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socius.
Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as individualism.
Kelima,
tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang belum
setiap manusia mengalami atau mencapai masalahnya.
c. Tema
Utama dan Tema Tambahan. Tema pada hakikatnya merupakan makna yang
dikandung cerita, atau makna cerita. Hal inilah yang menyebabkan tidak
mudah untuk menentukan tema pokok cerita atau tema mayor (makna pokok
yang cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu). Makna
pokok cerita tersirat dalam sebagian besar, untuk tidak dikatakan dalam
keseluruhan, cerita, bukan makna yang hanya terdapat pada bagian
tertentu saja. Makna yang hanya terdapat pada bagian tertentu dapat
diidentifikasi sebagai makna bagian, makna tambahan. Makna tambahan ini
yang disebut sebagai tama tambahan atau tema minor.
5. PENAFSIRAN TEMA
Dalam
usaha menemukan dan menafsirkan sebuah tema sebuah novel secara lebih
khusus dan rinci, Stanton (1965: 22-3) mengemukakan adanya sejumlah
kriteria yang dapat diikuti seperti ditunjukkan berikut. Pertama,
penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detail
cerita yang menonjol. Kedua, penafsiran sebuah tema sebuah novel
hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detail cerita. Ketiga,
penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada
bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tak
langsung dalam novel yang bersangkutan. Keempat, penafsiran tema sebuah
novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung
ada dan atau yang disarankan dalam cerita
BAB 4
CERITA
1. HAKIKAT CERITA
Forster (1970 : 35) mengartikan cerita sebagai sebuah narasi berbagai kejadian yang sengaja disusun berdasarkan urutan waktu.
Abrams
(1981 : 61) juga memberikan pengertian cerita sebagai sebuahurutan
kejadian yang sederhana dalam urutan waktu dan Kenny (1966 : 12)
mengartikannya sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi berdasarkan
urutan waktu yang disajikan dalam sebuah karya fiksi.
Cerita pada
hakikatnya merupakan pembeberan dan atau pengurutan gagasan lakuan dan
atribut tersebut yang mempunyai urutan awal, tengah dan akhir.
Fabel
merupakan urutan secara temporal-klausa material atau sesuatu yang
diceritakan, merupakan keseluruhan motif, merupakan abstraksi dari
“bahan mentah” fiksi yang dapat berupa pengalaman pengarang, bacaan dan
lain-lain. Sujet merupakan cara penyajian motif-motif itu sedemikian
rupa untuk mendapatkan efek estetis, struktur penceritaan atau
penyampaian bahan-bahan itu lewat sudut pandang, fokus narasi atau
merupakan abstraksi fabel, pemfokusan visi naratif secara lebih tajam
(Wellek & Warren, 1989 : 286-287).
2. CERITA DAN PLOT
Cerita
sekedar mempertanyakan apa dan atau bagaimana kelanjutan peristiwa,
sedang plot lebih menekankan permasalahannya pada hubungan kausalitas,
kelogisan hubungan antarperistiwa yang dikisahkan dalam karya naratif
yang bersangkutan. Kedua hal inilah yang menurut Forster (1970 : 94)
merupakan perbedaan fundamental antara cerita dengan plot tersebut.
Forster
(1970 : 34, 94) plot merupakan sesuatu yang lebih tinggi dan kompleks
daripada cerita. Cerita lebih lebih identik dengan fabel, sedang plot
adalah sujet itu.
3. CERITA DAN POKOK PERMASALAHANNYA
Pokok permasalahan (subject matter) merupakan suatu hal yang diangkat ke dalam cerita sebuah karya fiksi.
Isi
cerita adalah sesuatu yang dikisahkan dalam sebuah karya fiksi. Pokok
permasalahan merupakan sesuatu yang diacu atau berkaitan dengan isi
cerita.
4. CERITA DAN FAKTA
Tulisan dengan data faktual. Tulisan yang dibuat berdasarkan data atau informasi faktual, maisalnya tulisan berita.
Dialog
fakta dan fiksi. Fiksi tidak saja mampu merekam sejarah—dalam arti
bersifat dokumentatif-sosiologis dan monumental, inilah yang menandai
keberhasilan sebuah karya fiksi sebagai karya seni kesusastraan.
Unsur
realitas dan imajinasi. Karangan yang mengandung unsur imajinasi,
sebenarnya bukan hanya monopoli karya fiksi yang sering disebut sebagai
karya imajinatif.
BAB 5
PEMPLOTAN
1. HAKIKAT PLOT DAN PEMPLOTAN
Pengertian
Plot dan Pemplotan. Stanton (1965 : 14) mengemukakan bahwa plot adalah
cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya
dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau
menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Kenny (1966 : 14)
mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam
cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun
peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Forster (1970
(1927) : 93) plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai
penekanan pada adanya hubungan kausalitas. Abrams (1981 : 137)
mengemukakan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan struktur
peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan
dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional
dan efek artistik tertentu.
Plot : Misterius Intelektual. Plot sebuah
karya fiksi, menurut Forster (1970 : 94-95), memiliki sifat misterius
dan intelektual. Oleh kerena plot bersifat misterius, untuk memehaminya
diperlukan kemampuan intelektual.
2. PERISTIWA, KONFLIK DAN KLIMAKS
a. Peristiwa
Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang lain (Luxemburg dkk, 1992 : 150).
Peristiwa
Fungsional, Kaitan, Acuan. Peristiwa fungsional adalah
peristiwa-peristiwa yang menentukan dan atau mempengaruhi perkembangan
plot. Peristiwa kaitan adalah peristiwa-peristiwa yang berfungsi
mengaitkan peristiwa-peristiwa penting dalam pengurutan penyajian
cerita. Peristiwa acuan adalah peristiwa yang tidak secara langsung
berpengaruh dan atau berhubungan dengan perkembangan plot, melainkan
mengacu pada unsur-unsur lain, misalnya berhubungan dengan masalah
perwatakan atau suasana yang melingkupi batin seorang tokoh (Luxemburg,
1984 : 150-1).
Kernel dan Satelit. Chatman (1980 : 53) menyebut
peristiwa utama sebagai kernel (kernels), sedang peristiwa pelengkap
sebagai satelit (satelits).
b. Konflik
Konflik (conflict),
yang notabene adalah kejadian yang tergolong penting (jadi, ia akan
berupa peristiwa fungsional, utama, atau kernel) merupakan unsur yang
esensial dalam pengembangan plot.
Konflik menyaran pada pengertian
sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan atau dialami
oleh tokoh (-tokoh) itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka)
tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya (Meredith &
Fitzgerald, 1972 : 27).
Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu
pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan
adanya aksi dan aksi balasan (Wellek & Warren, 1989 : 285).
Bentuk
konflik dibedakan dalam dua kategori : konflik fisik dan konflik batin,
konflik eksternal dan konflik internal (Stanton, 1965 : 16). Konflik
eksternal dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konflik fisik dan konflik
sosial (Jones, 1986 : 30).
c. Klimaks
Stanton (1965 : 16)
klimaks adalah saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi
dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari
kejadiannya.
3. KAIDAH PEMPLOTAN
a. Plausibilitas
Plausibilitas menyaran pada pengertian suatu hal yang dapat dipercaya sesuai dengan logika cerita.
Sebuah
cerita dikatakan memiliki sifat plausibel jika tokoh-tokoh cerita dan
dunianya dapat diimajinasi (imaginable) dan jika para tokoh dan dunianya
tersebut serta peristiwa-peristiwa yang dikemukakan mungkin saja dapat
terjadi (Stanton, 1965 : 13).
b. Suspense
Suspense menyaran
pada adanya perasaan semacam kurang pasti terhadap peristiwa-peristiwa
yang akan terjadi, khususnya yang menimpa tokoh yang diberi rasa simpati
oleh pembaca (Abrams, 1981 :138).
Foreshadowing merupakan penampilan
peristiwa (-peristiwa) tertentu yang bersifat mendahului—namun biasnya
ditampilkan secara tidak langsung—terhadap peristiwa (-peristiwa)
penting yang akan dikemukakan kemudian.
c. Surprise
Surprise diartikan kejutan, sesuatu yang bersifat mengejutkan.
d. Kesatupaduan
Kesatupaduan
menyaran pada pengertian bahwa berbagai unsur yang ditampilkan,
khususnya peristiwa-peristiwa fungsional, kaitan dan acuan yang
mengandung konflik atau sebuah pengalaman kehidupan yang hendak
dikomunikasikan, memiliki keterkaitan satu dengan yang lain.
4. PENAHAPAN PLOT
a. Tahapan Plot : Awal-Tengah-Akhir
Tahap
awal sebuah cerita biasanya sebagai tahap perkenalan. Tahap tengah
disebut juga tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau konflik
yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin
meningkat, semakin menegangkan.
b. Tahapan Plot : Rincian Lain
(1)
Tahap situation : tahap penyituasian tahap yang terutama berisi
pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita.a
(2)
Tahap generating circumstances : tahap pemunculan konflik,
masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik
mulai dimunculkan.
(3) Tahap rising action : tahap peningkatan
konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin
berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya.
(4) Tahap climax :
tahap klimaks, konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi,
yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai
titik intensitas puncak.
(5) Tahap denouement : tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan.
c. Diagram Struktur Plot
Tahap
pemplotan di atas dapat juga digambarkan dalam bentuk gambar (diagram).
Diagram struktur yang dimaksud biasanya, didasarkan pada urutan
kejadian dan atau konflik secara kronologis. Jadi, diagram itu
sebenarnya lebih menggambarkan struktur plot jenis
progresif-konvensional-teoritis.
5. PEMBEDAAN PLOT
a. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu.
Urutan
waktu yang dimaksud adalah waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam karya fiksi yang bersangkutan. Secara teoritis dapat
membedakan plot ke dalam dua kategori : kronologis (plot lurus, maju)
dan tak kronologis (sorot-balik, mundur, flash back).
Plot lurus,
progresif. Plot sebuah novel dikatakan progresif jika
peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis,
peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh (atau: menyebabkan
terjadinya) peristiwa-peristiwa yang kemudian.
Plot sorot-balik,
flash back. Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang
berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari
tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita segala logika),
melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru
kemudian tahap awal cerita dikisahkan.
Plot campuran. Barangkali tidak ada novel yang secara mutlak berplot lurus-kronologis atau sebaliknya sorot-balik.
b. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Jumlah
Plot
tungal. Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya hanya mengembangkan
sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis yang
sebagai hero.
Plot Sub-subplot. Sebuah karya fiksi dapat saja
memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat
lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan
dan konflik yang dihadapinya.
c. Perbedaan Plot Berdasarkan Kriteria Kepadatan
Plot
padat. Disamping cerita disajikan secara cepat, peristiwa-peristiwa
fungsional terjadi susul-menyusul dengan cepat, hubungan antarperistiwa
juga terjalin secara erat dan pembaca seolah-olah selalu dipaksa untuk
terus-menerus mengikutinya.
Plot longgar. Pergantian peristiwa demi
peristiwa penting berlangsung lambat, artinya antara peristiwa penting
yang satu dengan yang lain diselai oleh berbagai peristiwa “tambahan”.
Degresi
adalah penyimpangan dari tema pokok sekedar untuk mempercantik cerita
dengan unsur-unsur yang tidak langsung berkaitan dengan tema (Hartoko
& Rahmanto, 1986 : 33).
d. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Isi
Friedman
(dalam Stevick, 1967 : 157 : 65) membedakan plot jenis ini ke dalam
tiga golongan besar, yaitu plot peruntungan (plot of fortune), plot
tokohan (plot of character), dan plot pemikiran (plot of thought).
Plot
peruntungan. Plot peruntungan berhubungan dengan cerita yang
mengungkapkan nasib, peruntungan yang menimpa tokoh (utama) cerita yang
bersangkutan. Plot peruntungan dibedakan menjadi : (a) plot gerak
(action plot), (b) plot sedih (pathetic plot), (c) plot tragis (tragic
plot), (d) plot penghukuman (punitive plot), (e) plot sentimental
(sentimental plot), dan (f) plot kekaguman (admiraton plot).
Plot
tokohan. Plot tokohan menyaran pada adanya sifat pementingan tokoh,
tokoh yang menjadi fokus perhatian. Plot tokohan dibedakan ke dalam (a)
plot pendewasaan (maturing plot), (b) plot pembentukan (reform plot),
(c) plot pengujian (testing plot), dan (d) plot kemunduran (degenration
plot).
Plot pemikiran. Plot pemikiran mengungkapkan sesuatu yang
menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan, berbagai macam obsesi dan
lain-lain hal yang menjadi masalah hidup dan kehidupan manusia. Friedman
membedakan plot pemikiran ke dalam (a) plot pendidikan (education
plot), (b) plot pembukaan rahasia (revelation plot), (c) plotafektif
(affektive plot), dan (d) plot kekecewaan (disillusionment plot).
BAB 6
PENOKOHAN
1. UNSUR PENOKOHAN DALAM FIKSI
Kejelasan mengenai tokoh dan penokohan dalam banyak hal tergantung pada pemplotannya.
a.
Pengertian dan hakikat penokohan. Penokohan adalah pelukisan gambaran
yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh
cerita atau character adalah orang – orang yang ditampilkan dalam suatu
karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki
kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan
dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Kewajaran fiksi
adalah suatu bentuk karya kreatif maka bagaimana pengarang mewujudkan
dan mengembangkan tokoh – tokoh ceritanya pun tidak lepas dari kebebasan
kreativitasnya. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa
dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin
disampaikan kepada penmbaca. Tokoh cerita hendaknya bersifat alami,
memiliki sifat lifelikeness, kesepertihidupan. Tokoh – tokoh cerita yang
ditampilkan dalam fiksi, sesuai namanya adalah tokoh rekaan. Tokoh –
tokoh sejarah tertentu, tokoh manusia nyata, bukan rekaan pengarang
adalah tokoh nyata.
b. Penokohan dan unsur cerita yang lain. Fiksi
merupakan sebuah keseluruhan yang utuh dan memiliki ciri artistik. Plot
adalah sesuatu bentuk pengalaman. Penokohan dan pemplotan merupakan dua
fakta cerita yang saling mempengaruhi dan menguntungkan satu dengan yang
lain. Plot adalah apa yang dilakukan tokoh dan apa yang menimpanya.
Jatidiri seorang tokoh ditentukan oleh peristiwa – peristiwa yang
menyertainya, begitu pula sebaliknya. Penokohan dengan tema, tokoh –
tokoh cerita merupakan pelaku penyampai tema.
c. Relevansi tokoh.
Relevansi tokoh dan penokohan harus dilihat dalam kaitannya dalam
berbagai unsur yang lain dan peranannya dalam cerita secara keseluruhan.
1. PEMBEDAAN TOKOH
a. Tokoh utama dan tokoh tambahan
Tokoh
yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita, sedangkan tokoh kedua
dalah tokoh tambahan. Tokoh utama diutamakan dalam penceritaannya.
b.
Tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita
kagumi yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero- tokoh yang
merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi
kita, sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya
konflik.
c. Tokoh tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh
sederhana dalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi
tertentu, satu sifat, watak yang tertentu saja. Tokoh bulat adalah tokoh
yang memilki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi
kepribadiannya dan jatidirinya. Perbedaan antara sederhana dan kompleks
itu lebih bersifat penggradasian, berdasarkan kompleksitas watak yang
dimiliki para tokoh. Fungsi tokoh sederhana dapat menambah tingkat
intensitas kekompleksan tokoh lain yang memang dipersiapkan sebagi tokoh
bulat.
d. Tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis
adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan
perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang
terjadi. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan
dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa dan
plot yang dikisahkan.
e. Tokoh tipikal dan tokoh netral.
Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan
individualitasnya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau
kebangsaannya. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi
cerita itu sendiri.
2. TEKNIK PELUKISAN TOKOH
Secara
garis besar teknik pelukisan tokoh yaitu pelukisan sifat, sikap, watak,
tingkah lau. berbagai hal lain yang berhubungan dengan jatidiri
dibedakan dalam dua teknik, yaitu teknik ekspositori atau secara
langsung, dan teknik dramatik atau secara tidak langsung.
a.
Teknik ekspositori adalah pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan
memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Teknik
pelukisan ini bersifat sederhana dan cenderung ekonomis.
b.
Teknik dramatik adalah mirip yang ditampilkan pada drama, dilakukan
secara tak langsung, artinya pengarang tidak mendeskripsikan secara
eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Dalam teknik
dramatik dapat dilihat melalui teknik cakapan. Percakapan yang dilakukan
oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan
sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Teknik tingkah laku, jika teknik
cakapan dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku verbal yang berwujud
kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang
bersifat nonverbal, fisik. Teknik pikiran dan perasaan, keadaan dan
jalan pikiran serta perasaan, yang sering dipikir dan dirasakan oleh
tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kesendiriannya
jua. Teknik arus kesadaran, berkaitan erat dengan teknik pikiran dan
perasaan. Teknik reaksi tokoh, dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap
suatu kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap atau tingkah laku
orang lain, dan sebagainya yang berupa rangsang dari luar diri tokoh
yang bersangkutan. Teknik reaksi tokoh lain, dimaksudkan sebagai reaksi
yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang
dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap,
komentar, dan lain-lain. Teknik pelukisan latar, pelukisan suasana latar
dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh seperti yang telah
diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain. Teknik pelukisan fisik,
berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak, pengarang
sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu.
c.
Catatan tentang identifikasi tokoh. Unsur pengidentifikasian tokoh,
yaitu prinsip pengulangan adalah tokoh cerita yang belum kita kenal,
akan menjadi kenal dan akrab jika kita dapat menemukan dan
mengidentifikasai adanya kesamaan sifat, sikap, watak, dan tingkah laku
ada bagian – bagian selanjutnya. Prinsip pengumpulan adalah seluruh
kedirian tokoh diungkapkan sedikit demi sedikit dalam seluruh ceriita.
Pinsip kemiripan dan pertentangan adalah dengan membandingkan antar
seorang tokoh dengan tokoh lain dari cerita fiksi yang bersangkutan.
BAB 7
PELATARAN
1. LATAR SEBAGAI UNSUR FIKSI
a.
Pengertian dan Hakikat Latar. Latar atau setting yang disebut juga
sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu,
dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan (Abrams,1981:175). Latar dibedakan menjadi dua yaitu latar
fisik dan latar spiritual. Latar fisik adalah latar tempat, yang
berhubungan secara jelas menyaran pada lokasi tertentu, sedangkan latar
spiritual adalah latar dalam karya fiksi tidak terbatas pada penempatan
lokasi-lokasi tertentu, atau sesuatu yang bersifat fisik saja, melainkan
juga yang berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan
nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutanjadi latar spiritual
itu nilai-nilai yang melingkupi dan dimiliki oleh latar fisik.
b.
Latar Netral dan Latar Tipikal. Latar netral adalah latar sebuah karya
yang hanya bersifat demikian. Latar tipikal adalah latar yang memiliki
dan menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik yang menyangkut unsur
tempat, waktu, maupun sosial.
c. Penekanan Unsur Latar. Latar
netral menyaran pada kurangnya pendekatan unsur latar, sebaliknya latar
tipikal pada adanya penekanan unsur latar. Sehingga unsur latar yang
ditekankan perannya dalam sebuah novel, langsung ataupun tidak langsung,
akan berpengaruh terhadap elemen fiksi yang lain, khususnya alur dan
tokoh. Jika elemen tempat mendapat penekanan dalam sebuah novel, makan
akan dilengkapi dengan sifat khas keadaan geografis setempat yang
mencirikannya.
d. Latar dan Unsur Fiksi yang Lain. Latar sebuah
karya sastra hanya berupa penyebutan tempat, waktu, dan hubungan sosial
tertentu secara umum, artinya bersifat netral, dan tak banyak berperan
dalam pengembangan cerita secara keseluruhan serta kurang berpengaruh
terhadap unsur-unsur fiksi yang lain, khususnya alur dan tokoh.
2. UNSUR LATAR
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial.
a. Latar Tempat. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
b.
Latar waktu. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
c.
Latar sosial. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi.
d. Catatan tentang Anakronisme.
Anakronisme menyaran pada pengertian adanya ketidaksesuaian dengan
urutan (perkembangan) waktu dalam sebuah cerita. Waktu yang dimaksud
adalah waktu cerita dan waktu sejarah. Penyebab anakronisme mungkin
berupa masuknya “waktu” lampau ke dalam cerita yang berlatar waktu kini
atau sebaliknya “waktu” kini kedalam cerita yang berlatar “waktu”
lampau.
3. HAL LAIN TENTANG LATAR
Latar dilihat dari
sisi fungsi yang lain dan lebih menyaran pada fungsi latar sebagai
pembangkit tanggapan atau suasana tertentu dalam cerita, fungsi latar
yang dimaksud adalah fungsi latar sebagai metafora dan latar sebagai
atmosfir.
a. Latar sebagai metaforik. Penggunaan istilah
metafora menyaran pada suatu pembandingan yang mungkin berupa sifat
keadaan, suasana, ataupun sesuatu yang lain. Metafora erat berkaitan
dengan pengalaman kehidupan manusia baik bersifat fisik maupun budaya
(Lakoff & Johnson, 1980:18).
b. Latar sebagai atmosfer.
Atmosfer dalam cerita merupakan “udara yang dihirup pembaca sewaktu
memasuki dunia rekaan”. Serta berupa deskripsi kondisi latar yang mampu
menciptakan suasana tertentu, misalnya suasana ceria, romantis, sedih,
muram, maut, misteri dan sebagainya. Latar yang memberikan atmosfer
cerita biasanya berupa latar penyituasian yang mampu menarik pembaca ke
dalam cerita, sehingga membuat pembaca terlibat secara emosional.
BAB 8
PENYUDUTPANDANGAN
Sudut pandang, point of view, viewpoint, merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh staton digolongkan sebagai sarana cerita.
1. SUDUT PANDANG SEBAGAI UNSUR FIKSI
a.
Hakikat sudut pandang. Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan
siapa yang menceritakan, atau dari posisi mana peristiwa atau tindakan
itu dilihat. Pengertian sekitar sudut pandang, menyaran para sebuah
cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan pandangan yang dipergunakan
pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan
berbagai peristiwa, yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi
kepada pembaca (Abrams, 1981 : 142). Dengan demikian, sudut pandang
pada hakekatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja
dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.
b.
Pentingnya sudut pandang. Sudut pandang dianggap sebagai salah satu
unsur fiksi yang penting dan menentukan. Penggunaan sudut pandang aku
ataupun dia, yang biasanya juga berarti tokoh aku atau tokoh dia, dalam
karya fiksi adalah untuk memerankan dan menyampaikan berbagai hal yandg
disampaikan pengarang. Ia dapat berupa ide, gagasan, nilai-nilai, sikap,
dan pandangan hidup, kritik, pelukisan,penjelasan, dan pengiformasian,
namun demi kebagusan cerita, yang kesemuanya dipertimbangkan dapat
mencapai tujuan artistik.
c. Sudut pandang sebagai penonjolan.
Penulisan karya fiksi, seperti pada umumnya penulisan penulisan sastra,
tak pernah lepas dari peyimpangan dan pembaharuan, baik hanya meliputi
satu-dua elemen tertentu maupun sejumlah elemen sekaligus dalam sebuah
karya.
2. MACAM SUDUT PANDANG
Pembedaan
sudut dapat dilihat dari bagaimana kehadiraan cerita itu kepada pembaca,
lebih bersifat pencitraan, telling atau penunjukan, showing, naratif
atau dramatik. Pembedaan sudut pandang yang akan dikemukakan berikut
berdasarkan pembedaan yang telah umum dilakukan orang, yaitu bentuk
persona tokoh cerita persona ketiga dan persona pertama.
a.
Sudut pandang persona ketiga: “dia”. Pengisahan cerita yang
mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah:
seseorang yang berada diluar ceritayang menampilkan tokoh-tokoh cerita
dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Sudut pandang
“dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat
kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya. Di satu
pihak pengarang, narator, dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan tokoh “dia”, jadi bersifat mahatahu, di lain pihak ia
terikat, mempunyai keterbatasan ”pengertian” terhadap tokoh “dia” yang
diceritakan itu, jadi bersifat terbatas, hanya selaku pengamat saja.
b.
Sudut pandang persona pertama: “Aku”. Narator adalah seseorang ikut
terlibat dalam cerita.Ia adalah si “Aku” tokoh yang berkisah,
mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan
tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan
serta sikapnya terhadap orang lain kepada pembaca. Dan bersifat
eksternal, maka narator dapat mengambil sikap terbatas atau tidak
terbatas, tergantung keadaan keadaan cerita yang akan dikisahkan.
c.
Sudut pandang campuran. Penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran
itu di dalam sebuah novel, mungkin berupa penggunaan sudut pandang
persona ketiga dengan teknik ”dia” mahatau dan “dia” sebagai pengamat,
persona pertama dengan teknik “aku” sebagai tokoh utama dan “aku”
tambahan atau sebagai saksi, bahkan dapat berupa campuran antara persona
pertama dan ketiga antara “aku” dan “dia” sekaligus.
BAB 9
BAHASA
1. BAHASA SEBAGAI UNSUR FIKSI
a.
Bahasa sastra : Sebuah fenomena. Bahasa sastra mungkin dicirikan
sebagai bahasa yang mengandung unsur emotif dan bersifat konotatif
sebagai kebalikan bahasa nonsastra, khususnya bahasa ilmiah, yang
rasional dan denotatif. Ciri adanya unsur “pikiran” bukan hanya monopoli
bahasa nonsastra tetapi bahasa sastra pun memilikinya. Sebaliknya ciri
unsur emotif pun bukan hanya monopoli bahasa sastra.
b. Stile
dan stilistika. Stile dan hakikat stile. Stile adalah cara pengucapan
bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengukapkan sesuatu
yang akan dikemukakan. Stile ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan
seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif,
penggunaan kohesi dan lain-lain. Stilistika dan Hakikat Stilistika.
Stilistika menyaran pada pengertian studi tentang stile, kajian terhadap
wujud performasi kebahasaan, khususnya yang terdapat di dalam karya
sastra. Analisis stilistika biasanya dimaksudkan untuk menerangkan
sesuatu, yang pada umumnya dalam dunia kesastraan untuk menerangkan
hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya. Tanda-tanda
stilistika berupa : Fonologi, misalnya pola suara ucapan dan irama.
Sintaksis: misalnya jenis struktur kalimat. Leksikal : Pengunaan kata
abstrak dan konkret. Penggunaan bahasa yang figuratif.
c. Stile
Dan Nada. Membaca sebuah novel biasanya akan merasakan adanya nada
tertentu yang tersirat dari novel tersebut, khususnya yang disebabkan
oleh efek pemilihan ungkapan bahasa. Nada, nada pengarang dalam
pengertian yang luas, dapat diartikan sebagai pendirian atau sikap yang
diambil pengarang terhadap pembaca dan terhadap masalah yang dikemukakan
sebelumnya.
2. UNSUR STILE
a. Unsur Leksikal. Unsur
leksikal yang dimaksud sama pengertiannya dngan diksi, yaitu yang
mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja
dipilih oleh pengarang.
b. Unsur Gramatikal. Unsur Gramatikal yang dimaksud menyaran pada pengertian struktur kalimat.
c.
Retorika. Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk
memperoleh efek estetis. Unsur retorika sendiri meliputi: pemajasan,
penyiasatan struktur dan pencitraan.
d. Kohesi. Antara bagian
satu dengan bagian yang lain, atau kalimat yang satu dengan yang lain,
terhadap hubungan yang bersifat mengaitkan antar bagian kalimat atau
antar kalimat itu.
3. PERCAKAPAN DALAM NOVEL
a.
Narasi dan Dialog. Pengukapan bahasa dengan gaya narasi, dalam hal ini
yang dimaksudkan adalah semua penuturan yang bukan bentuk percakapan,
sering dapat menyampaikan sesuatu secara lebih singkat dan langsung.
Gaya dialog pun hanya akan terasa hidup dan terpahami dalam konteks
situasi yang dicipta dan dikisahkan lewat gaya narasi. Dengan demikian,
pengungkapan bentuk narasi dan dialog dalam sebuah novel seharusnya
berjalan seiring, sambung-menyambung, dan saling melengkapi.
b.
Unsur Pragmatik dalam Percakapan. Ketepatan penggunaan bahasa percakapan
adalah ketepatan konteks situasi, maka bentuk percakapan dalam sebuah
situasi belum tentu tepat untuk situasi yang lain.
c. Tindak Ujar. Austin membedakan penampilan tindak ujar kedalam tiga macam tindak yaitu:
·
Lokusi : suatu bentuk ujaran yang mengandung makna adanya hubungan
antara subjek dengan predikat, pokok dengan sebutan, atau antara topik
dengan penjelasan.
· Ilokusi: bentuk-bentuk ujaran yang dibedakan berdasarkan intonasi kalimat.
·
Perlokusi : adanya suatu bentuk pengucapan yang menyaran pada makna
yang lebih dalam, yamg tersembunyi dibalik ucapan itu sendiri.
BAB 10
MORAL
1. UNSUR MORAL DALAM FIKSI
a.
Pengertian dan Hakikat Moral. Moral dipandang sebagai salah satu wujud
tema dalam wujud yang sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral
(Kenny, 1996: 89). Secara umum moral menyarankan pada pengertian
(ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan,
sikap, kewajiban, dan sebagainya: akhlak, budi pekerti, susila
(KBBI,1994). Moral dalam cerita, menurut Kenny (1996: 89), biasanya
dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral
tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan)
lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Pesan moral sastra lebih
memberatkan pada sifat kodrati manusia yang hakiki.
b. Jenis dan
Wujud Pesan Moral. Jenis ajaran moral dapat mencakup seluruh persoalan
hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan
martabat manusia. Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan
manusia itu dapat dibedakan ke dalam persoalan hubungan manusia dengan
diri sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial
termasuk hubungannya dengan lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan
Tuhannya. Jenis hubungan tersebut masing-masing dapat dirinci kedalam
detil-detil yang lebih khusus.
2. PESAN RELIGIUS DAN KRITIK SOSIAL
a.
Pesan Religius dan Keagamaan. Sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat
religius. Pada awal mula segala sastra adalah religius (Mangunwijaya,
1982: 11). Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada
Tuhan dengan hukum yang resmi. Religius bersifat mengatasi, lebih dalam,
dan lebih luas dari agama yang tampak formal, dan resmi (Mangunwijaya,
1982: 11-2). Seorang religius adalah orang yang mencoba memahami dan
menghayati hidup dan kehidupan ini lebih dari sekedar yang lahiriah
saja.
b. Pesan Kritik Sosial. Hampir semua novel Indonesia
mengandung unsur kritik sosial dengan intensitas yang berbeda. Banyak
karya sastra yang bernilai tinggi yang di dalamnya menampilkan pesan
pesan kritik sosial. Sastra yang mengandung pesan kritik dapat juga
disebut sebagai sastra kritik biasanya akan lahir ditengah masyarakat
jika terjadi hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial dan
masyarakat.
3. BENTUK PENYAMPAIAN PESAN MORAL
a.
Bentuk Penyampaian Langsung. Bentuk penyampaian ini identik dengan cara
pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling, atau penjelasan,
expository. Dalam teknik uraian pengarang secara langsung
mendeskripsikan perwatakan tokoh cerita yang bersifat “memberi tahu”
atau memudahkan pembaca untuk memahaminya. Artinya moral yang ingin
disampaikan kepada pembaca dilakukan secara langsung dan eksplisit.
Dilihat sari segi kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan sesuatu
kepada pembaca. Teknik penyampaian langsung tersebut komunikatif,
artinya pembaca secara mudah dapat memahami apa yang dimaksudkan.
b.
Bentuk Penyampaian Tidak Langsung. Dalam teknik ini pesan hanya
tersirat dalam cerita, berpadu secara keherensif dengan unsur-unsur
cerita yang lain. Dari segi kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan
pesan, cara ini kurang komunikatif, artinya pembaca belum tentu dapat
menangkap apa sesungguhnya yang dimaksudkan pengarang, paling tidak
kemungkinan terjadinya kesalahan tafsir berpeluang besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar