Kamis, 21 Maret 2013

MERESUM FIKSI

BAB 1
FIKSI: SEBUAH TEKS PROSA NARATIF

1.      FIKSI : PENGERTIAN DAN HAKIKAT

Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discource). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan ataupun cerita khayalan. Hal ini disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah (Abrams, 1981:61). Karya fiksi merupakan suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh, sehingga fiksi itu tidak perlu dicari kebenarannya dalam dunia nyata.
Fiksi menurut Altenbernd dan Lewis (1966:14), dapat diartikan sebagai “prosa” naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia. Fiksi juga menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Namun, perlu juga dicatat bahwa dalam dunia kesastraan terdapat suatu bentuk karya sastra yang mendasarkan diri pada fakta. Karya sastra yang demikian, oleh Abrams (1981:61) disebut sebagai fiksi historis (historical fiction), sedangkan yang menjadi dasar penulisan fakta sejarah disebut juga fiksi biografis (biographical fiction) serta apabila yang menjadi dasr penulisan fakta biografis dan fiksi sains (science fiction) termasuk dasar penulisan fakta ilmu pengetahuan. Ketiga jenis karya fiksi tersebut dikenal dengan sebutan fiksi nonfiksi (nonfiction fiction).
Kebenaran fiksi, ada perbedaan antara kebenaran dalam dunia fiksi dengan kebenaran di dunia nyata. Kebenaran dalam dunia fiksi adalah kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang, kebenaran yang telah diyakini “keabsahannya” sesuai dengan pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan. Sehingga kebenaran dalam dunia fiksi tidak harus sejalan dengan kebenaran yang berlaku di dunia nyata.
Wellek dan Warren (1989 : 278-9) mengemukakan bahwa realitas dalam karya fiksi merupakan ilusi kenyataan dan kesan yang menyakinkan yang ditampilkan, namun tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari.


2.      PEMBEDAAN FIKSI
a.      Novel dan Cerita Pendek. Novel (Inggris: novel) dan cerita pendek (disingkat cerpen dalam bahasa Inggris: short story) merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Istilah novel dalam bahasa Italia novella, secara harfiah berarti sebagai sebuah cerita pendek dalam bentuk prosa (Abrams. 1981:119). Perbedaan antara novel dengan cerpen yang pertama, dapat dilihat dari segi formalitas bentuk, dan segi panjang cerita.
b.      Novel Serius dan Novel Populer. Novel serius tidak bersifat mengabdi kepada selera pembaca dan pembaca novel jenis ini tidak banyak, sedangkan Novel populer lebih mengejar selera pembaca dan tidak menceritakan sesuatu yang bersifat serius.

3.      UNSUR-UNSUR FIKSI
a.       Intrinsik dan Ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, meliputi: peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa dan lain-lain. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung membangun karya sastra, meliputi: biografi pengarang, psikologi pengarang, psikologi pembaca dan keadaan lingkungan pengarang.
b.      Fakta, Tema, Sarana Cerita. Fakta (facts) dalam sebuah cerita meliputi karakter atau tokoh cerita, plot, dan setting. Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita dan selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan. Sarana cerita atau sarana pengucapan sastra adalah teknik yang dipergunakan oleh pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang bermakna.
c.       Cerita dan Wacana. Cerita merupakan isi dari ekspresi naratif, dan apa yang ingin dilukiskan dalam teks naratif. Wacana merupakan bentuk dari sesuatu (cerita atau isi) yang diekspresikan serta bagaimana cara melukiskannya.






BAB 2
KAJIAN FIKSI

1.      HAKIKAT KAJIAN FIKSI
Pengkajian terhadap karya fiksi berarti penelaahan, penyelidikan atau mengkaji, menelaah, menyelidiki karya fiksi tersebut. Pada umumnya kegiatan ini disertai dengan kerja analisis yaitu mengurai karya itu atas unsur – unsur intrinsiknya. Tujuan utama kerja analisis kesastraan, fiksi, puisi, atau yang lain adalah untuk dapat memahami secara lebih baik karya sastra yang bersangkutan dan membantu memperjelas pembaca yang kurang dapat memahami karya sastra. Dalam rangka memahami dan mengungkap sesuatu yang terdapat dalam karya sastra dikenal adanya istilah heuristic dan hermeneutic. Hubungan keduanya dapat dipandang sebagai hubungan yang bersifat gradasi, sebab kegiatan pembacaan atau kerja hermeneutic haruslah didahului oleh pembacaan heuristic. Kerja heuristic berupa pemahaman makna sebagaimana yang dikonvensikan oleh bahasa yang bersangkutan. Kerja ini menghasilkan pemahaman makna secara harfiah, makna tersurat, atau actual meaning. Sedangkan kerja hermeneutic berupa pemahaman berdasarkan makna dari hasil kerja heuristic. Usaha mengkaji karya sastra pada hakikatnya memiliki kesamaan tujuan, yaitu memahami secara lebih baik karya sastra. Dalam kajian kesastraan, dikenal adanya analisis sruktural dan semiotik. Yang pertama menekankan pada adanya fungsi dan hubungan antarunsur dalam sebuah karya, sedangkan yang kedua pada pemaknaan karya itu yang dipandangnya sebagai sebuah sistem tanda.
2.      KAJIAN STRUKTURAL
Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha. Selain struktural, ada juga istilah strukturalisme, yaitu dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antar unsur pembangun karya yang bersangkutan. Analisis struktural karya sastra, dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendiskrisikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan.

3.      KAJIAN SEMIOTIK
Berasal dari teori Saussure, bahasa merupakan sebuah emiot tanda dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaaan, gagasan, dan lain-lain. Teori semiotic bersifat multidisiplin, dapat diterapkan pada linguistik, seni, sastra, film, filsafat, antropologi, arkeologi, arsitektur, dan lain-lain. Perkembangan teori semiotic hingga dewasa ini dapat dibedakan ke dalam dua jenis semiotic, yaitu semiotic komunikasi dan semiotic signifikasi. Semiotik komunikasi menekankan pada teori produksi tanda, sedangkan signifikasi menekankan pemahaman dan pemberian makna suatu tanda.
a.      Teori semiotik Peirce. Teori ini mengatakan bahwa sesuatu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda yang disebutnya representamen haruslah mengacu sesuatu yang disebutnya sebagai objek. Proses pewakilan tanda terhadap acuannya terjadi pada saat tanda itu ditafsirkan dalam hubungannya dengan yang diwakili, disebut interpretant. Proses pewakilan disebut semiosis, yaitu suatu proses dimana suatu tanda berfungsi sebagai tanda yang mewakili sesuatu yang ditandainya. Proses membedakan hubungan antar tanda dengan acuannya kedalam tiga jenis hubungan, yaitu ikon jika berupa hubungan kemiripan, indeks jika ia berupa hubungan kesepakatan eksitensi, dan simbol, jika ia berupa hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi. Ikon ada tiga macam, yaitu ikon topologis, diagramatik, dan metaforis.
b.      Teori Semiotik Saussure. Bahasa sebagai sistem tanda menurut Saussure memiliki dua unsur, yaitu signifier dan signified, significant dan signifie, atau penanda dan petanda. Wujud penanda dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan, sedangkan petanda adalah unsur konseptual, gagasan, atau makna yang terkandung dalam penanda tersebut. Ada hubungan yang bersifat linear yang disebut hubungan sintagmatik, dan hubungan yang bersifat aspsiatif yang disebut hubungan paradigmatik. Ada juga hubungan in praesentia, yaitu hubungan antar unsur-unsur yang hadir secara bersama. Tiap satuan cerita disebut sekuen. Satuan cerita mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi utama adalah menentukan jalan cerita, sedangkan fungsi katalisator adalah menghubungkan fungsi – fungsi uatama itu. Hubungan sintagmatik dan paradigmatik dapat dikaitkan dengan kajian dari aspek waktu. Ada dua tataran waktu dalam teks fiksi, yaitu waktu dari dunia yang digambarkan, tataran peristiwa dan waktu dari wacana yang menggambarkan, tataran penceritaan. Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang kemudian disebut hipogram atau dapat disebut juga latar, yaitu dasar.

4.      KAJIAN INTERTEKSTUAL
Kajian ini dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik. Prinsip intertekstual yang uatama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Adanya hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi, pembacalah yang menentukan ada atau tidaknya kaitan antara teks yang satu dengan teks yang lain.
5.      DEKONSTRUKSI
Pada hakikatnya adalah suatu cara membaca sebuah teks yang menumbangkan anggapan bahwa sebuah teks itu memiliki landasan, dalam sistem bahasa yang berlaku, untuk menegaskan struktur, keutuhan, dan makna yang menentu. Paham dekonstruksi mula-mula dikembangkan oleh seorang filosof Perancis, Jacques Derrida, dan kemudian dilanjutkan oleh tokoh – tokoh seperti Paul de man, j.Hillis Miller, dan bahkan juga Levy-Strauss. Pendekatan dekonstruksi dapat diterapkan dalam pembacaan karya sastra dan karya filsafat.

BAB  3
TEMA
1.        HAKIKAT TEMA

Tema (theme), menurut Stanton (1965: 20) dan Kenny (1966: 88), adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Untuk menentukan makna pokok sebuah novel, kita perlu memiliki kejelasan pengertian tentang makna pokok, atau tema, itu sendiri. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra yang terkandung di dalam teks sebagai struktur  semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko & Rahmanto, 1986: 142).
Pertimbangan pengertian tema utama didasarkan pada pengertian tema menurut Stanton (1965: 21), yaitu yang mengartikan tema sebagai “makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana”. Tema menurutnya, kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose).

2.      TEMA : MENGANGKAT MASALAH KEHIDUPAN
Novel dapat dipandang sebagai hasil,dialog, mengangkat dan mengungkapkan kembali berbagai permasalahan hidup dan kehidupan tersebut setelah melewati penghayatan yang intens, seleksi subjektif, dan diolah dengan daya imajinatif-kreatif oleh pengarang, ke dalam bentuk dunia rekaan.

3.      TEMA DAN UNSUR CERITA YANG LAIN
Tema dalam sebuah karya sastra, fiksi, hanyalah merupakan salah satu dari sejumlah unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah kemenyeluruhan. Tema sebuah cerita disampaikan secara implisit melalui cerita. Unsur-unsur cerita yang lain, khususnya yang oleh Stanton dikelompokkan sebagai fakta cerita-tokoh, plot, latar--yang “bertugas” mendukung dan menyampaikan tema tersebut.

4.      PENGGOLONGAN TEMA
Penggolongan tema berdasarkan tiga sudut pandang :
a.    Tema Tradisional dan Non Tradisional. Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama. Pernyataan-pernyataan tema yang dapat dipandang sebagai bersifat tradisional itu, misalnya berbunyi : (i) kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan, (ii) tindak kebenaran atau kejahatan masing-masing akan memetik hasilnya (Jawa: becik ketitik ala ketara), dan sebagainya. Tema-tema tradisional, walau banyak variasinya, boleh dikatakan, selalu ada kaitannya dengan masalah kebenaran dan kejahatan (Meredith & Fitzgerald, 1972 : 66).
b.    Tingkatan Tema Menurut Shipley. Shipley dalam Dictionary of World Literature (1962 : 417), mengartikan tema sebagi subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan kedalam cerita. Shipley membedakan tema-tema karya kedalam tingkatan-tingkatan semuanya ada lima tingkatan berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa, yang disusun dari tingkatan yang paling sederhana, tingkatan tumbuhan dan makhluk hidup, ke tingkat yang paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh manusia. Kelima tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) molekul, man as molecul.
Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) protoplasma, man as protoplasm.
Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socius.
Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as individualism.
Kelima, tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang belum setiap manusia mengalami atau mencapai masalahnya.
c.       Tema Utama dan Tema Tambahan. Tema pada hakikatnya merupakan makna yang dikandung cerita, atau makna cerita. Hal inilah yang menyebabkan tidak mudah untuk menentukan tema pokok cerita atau tema mayor (makna pokok yang cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu). Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar, untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan, cerita, bukan makna yang hanya terdapat pada bagian tertentu saja. Makna yang hanya terdapat pada bagian tertentu dapat diidentifikasi sebagai makna bagian, makna tambahan. Makna tambahan ini yang disebut sebagai tama tambahan atau tema minor.

5.      PENAFSIRAN TEMA
Dalam usaha menemukan dan menafsirkan sebuah tema sebuah novel secara lebih khusus dan rinci, Stanton (1965: 22-3) mengemukakan adanya sejumlah kriteria yang dapat diikuti seperti ditunjukkan berikut. Pertama, penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detail cerita yang menonjol. Kedua, penafsiran sebuah tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detail cerita. Ketiga, penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tak langsung dalam novel yang bersangkutan. Keempat, penafsiran  tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan dalam cerita

BAB 4
CERITA

1.      HAKIKAT CERITA

Forster (1970 : 35) mengartikan cerita sebagai sebuah narasi berbagai kejadian yang sengaja disusun berdasarkan urutan waktu.
Abrams (1981 : 61) juga memberikan pengertian cerita sebagai sebuahurutan kejadian yang sederhana dalam urutan waktu dan Kenny (1966 : 12) mengartikannya sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi berdasarkan urutan waktu yang disajikan dalam sebuah karya fiksi.
Cerita pada hakikatnya merupakan pembeberan dan atau pengurutan gagasan lakuan dan atribut tersebut yang mempunyai urutan awal, tengah dan akhir.
Fabel merupakan urutan secara temporal-klausa material atau sesuatu yang diceritakan, merupakan keseluruhan motif, merupakan abstraksi dari “bahan mentah” fiksi yang dapat berupa pengalaman pengarang, bacaan dan lain-lain. Sujet merupakan cara penyajian motif-motif itu sedemikian rupa untuk mendapatkan efek estetis, struktur penceritaan atau penyampaian bahan-bahan itu lewat sudut pandang, fokus narasi atau merupakan abstraksi fabel, pemfokusan visi naratif secara lebih tajam (Wellek & Warren, 1989 : 286-287).

2.      CERITA DAN PLOT
Cerita sekedar mempertanyakan apa dan atau bagaimana kelanjutan peristiwa, sedang plot lebih menekankan permasalahannya pada hubungan kausalitas, kelogisan hubungan antarperistiwa yang dikisahkan dalam karya naratif yang bersangkutan. Kedua hal inilah yang menurut Forster (1970 : 94) merupakan perbedaan fundamental antara cerita dengan plot tersebut.
Forster (1970 : 34, 94) plot merupakan sesuatu yang lebih tinggi dan kompleks daripada cerita. Cerita lebih lebih identik dengan fabel, sedang plot adalah sujet itu.



3.      CERITA DAN POKOK PERMASALAHANNYA
Pokok permasalahan (subject matter) merupakan suatu hal yang diangkat ke dalam cerita sebuah karya fiksi.
Isi cerita adalah sesuatu yang dikisahkan dalam sebuah karya fiksi. Pokok permasalahan merupakan sesuatu yang diacu atau berkaitan dengan isi cerita.

4.      CERITA DAN FAKTA
Tulisan dengan data faktual. Tulisan yang dibuat berdasarkan data atau informasi faktual, maisalnya tulisan berita.
Dialog fakta dan fiksi. Fiksi tidak saja mampu merekam sejarah—dalam arti bersifat dokumentatif-sosiologis dan monumental, inilah yang menandai keberhasilan sebuah karya fiksi sebagai karya seni kesusastraan.
Unsur realitas dan imajinasi. Karangan yang mengandung unsur imajinasi, sebenarnya bukan hanya monopoli karya fiksi yang sering disebut sebagai karya imajinatif.

BAB 5
PEMPLOTAN

1.      HAKIKAT PLOT DAN PEMPLOTAN
Pengertian Plot dan Pemplotan. Stanton (1965 : 14) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Kenny (1966 : 14) mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Forster (1970 (1927) : 93) plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas. Abrams (1981 : 137) mengemukakan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu.
Plot : Misterius Intelektual. Plot sebuah karya fiksi, menurut Forster (1970 : 94-95), memiliki sifat misterius dan intelektual. Oleh kerena plot bersifat misterius, untuk memehaminya diperlukan kemampuan intelektual.

2.      PERISTIWA, KONFLIK DAN KLIMAKS
a.      Peristiwa
Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang lain (Luxemburg dkk, 1992 : 150).
Peristiwa Fungsional, Kaitan, Acuan. Peristiwa fungsional adalah peristiwa-peristiwa yang menentukan dan atau mempengaruhi perkembangan plot. Peristiwa kaitan adalah peristiwa-peristiwa yang berfungsi mengaitkan peristiwa-peristiwa penting dalam pengurutan penyajian cerita. Peristiwa acuan adalah peristiwa yang tidak secara langsung berpengaruh dan atau berhubungan dengan perkembangan plot, melainkan mengacu pada unsur-unsur lain, misalnya berhubungan dengan masalah perwatakan atau suasana yang melingkupi batin seorang tokoh (Luxemburg, 1984 : 150-1).
Kernel dan Satelit. Chatman (1980 : 53) menyebut peristiwa utama sebagai kernel (kernels), sedang peristiwa pelengkap sebagai satelit (satelits).
b.      Konflik
Konflik (conflict), yang notabene adalah kejadian yang tergolong penting (jadi, ia akan berupa peristiwa fungsional, utama, atau kernel) merupakan unsur yang esensial dalam pengembangan plot.
Konflik menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh (-tokoh) itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya (Meredith & Fitzgerald, 1972 : 27).
Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan (Wellek & Warren, 1989 : 285).
Bentuk konflik dibedakan dalam dua kategori : konflik fisik dan konflik batin, konflik eksternal dan konflik internal (Stanton, 1965 : 16). Konflik eksternal dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konflik fisik dan konflik sosial (Jones, 1986 : 30).
c.       Klimaks
Stanton (1965 : 16) klimaks adalah saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari kejadiannya.

3.      KAIDAH PEMPLOTAN
a.      Plausibilitas
Plausibilitas menyaran pada pengertian suatu hal yang dapat dipercaya sesuai dengan logika cerita.
Sebuah cerita dikatakan memiliki sifat plausibel jika tokoh-tokoh cerita dan dunianya dapat diimajinasi (imaginable) dan jika para tokoh dan dunianya tersebut serta peristiwa-peristiwa yang dikemukakan mungkin saja dapat terjadi (Stanton, 1965 : 13).
b.      Suspense
Suspense menyaran pada adanya perasaan semacam kurang pasti terhadap peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, khususnya yang menimpa tokoh yang diberi rasa simpati oleh pembaca (Abrams, 1981 :138).
Foreshadowing merupakan penampilan peristiwa (-peristiwa) tertentu yang bersifat mendahului—namun biasnya ditampilkan secara tidak langsung—terhadap peristiwa (-peristiwa) penting yang akan dikemukakan kemudian.
c.       Surprise
Surprise diartikan kejutan, sesuatu yang bersifat mengejutkan.
d.      Kesatupaduan
Kesatupaduan menyaran pada pengertian bahwa berbagai unsur yang ditampilkan, khususnya peristiwa-peristiwa fungsional, kaitan dan acuan yang mengandung konflik atau sebuah pengalaman kehidupan yang hendak dikomunikasikan, memiliki keterkaitan satu dengan yang lain.

4.      PENAHAPAN PLOT
a.        Tahapan Plot : Awal-Tengah-Akhir
Tahap awal sebuah cerita biasanya sebagai tahap perkenalan. Tahap tengah disebut juga tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan.
b.      Tahapan Plot : Rincian Lain
(1)   Tahap situation : tahap penyituasian tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita.a
(2)   Tahap generating circumstances : tahap pemunculan konflik, masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan.
(3)   Tahap rising action : tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya.
(4)   Tahap climax : tahap klimaks, konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak.
(5)   Tahap denouement : tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan.
c.       Diagram Struktur Plot
Tahap pemplotan di atas dapat juga digambarkan dalam bentuk gambar (diagram). Diagram struktur yang dimaksud biasanya, didasarkan pada urutan kejadian dan atau konflik secara kronologis. Jadi, diagram itu sebenarnya lebih menggambarkan struktur plot jenis progresif-konvensional-teoritis.

5.      PEMBEDAAN PLOT
a.      Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu.
Urutan waktu yang dimaksud adalah waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi yang bersangkutan. Secara teoritis dapat membedakan plot ke dalam dua kategori : kronologis (plot lurus, maju) dan tak kronologis (sorot-balik, mundur, flash back).
Plot lurus, progresif. Plot sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh (atau: menyebabkan terjadinya) peristiwa-peristiwa yang kemudian.
Plot sorot-balik, flash back. Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita segala logika), melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan.
Plot campuran. Barangkali tidak ada novel yang secara mutlak berplot lurus-kronologis atau sebaliknya sorot-balik.

b.      Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Jumlah
Plot tungal. Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya hanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis yang sebagai hero.
Plot Sub-subplot. Sebuah karya fiksi dapat saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan dan konflik yang dihadapinya.
c.       Perbedaan Plot Berdasarkan Kriteria Kepadatan
Plot padat. Disamping cerita disajikan secara cepat, peristiwa-peristiwa fungsional terjadi susul-menyusul dengan cepat, hubungan antarperistiwa juga terjalin secara erat dan pembaca seolah-olah selalu dipaksa untuk terus-menerus mengikutinya.
Plot longgar. Pergantian peristiwa demi peristiwa penting berlangsung lambat, artinya antara peristiwa penting yang satu dengan yang lain diselai oleh berbagai peristiwa “tambahan”.
Degresi adalah penyimpangan dari tema pokok sekedar untuk mempercantik cerita dengan unsur-unsur yang tidak langsung berkaitan dengan tema (Hartoko & Rahmanto, 1986 : 33).
d.      Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Isi
Friedman (dalam Stevick, 1967 : 157 : 65) membedakan plot jenis ini ke dalam tiga golongan besar, yaitu plot peruntungan (plot of fortune), plot tokohan (plot of character), dan plot pemikiran (plot of thought).
Plot peruntungan. Plot peruntungan berhubungan dengan cerita yang mengungkapkan nasib, peruntungan yang menimpa tokoh (utama) cerita yang bersangkutan. Plot peruntungan dibedakan menjadi : (a) plot gerak (action plot), (b) plot sedih (pathetic plot), (c) plot tragis (tragic plot), (d) plot penghukuman (punitive plot), (e) plot sentimental (sentimental plot), dan (f) plot kekaguman (admiraton plot).
Plot tokohan. Plot tokohan menyaran pada adanya sifat pementingan tokoh, tokoh yang menjadi fokus perhatian. Plot tokohan dibedakan ke dalam (a) plot pendewasaan (maturing plot), (b) plot pembentukan (reform plot), (c) plot pengujian (testing plot), dan (d) plot kemunduran (degenration plot).
Plot pemikiran. Plot pemikiran mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan, berbagai macam obsesi dan lain-lain hal yang menjadi masalah hidup dan kehidupan manusia. Friedman membedakan plot pemikiran ke dalam (a) plot pendidikan (education plot), (b) plot pembukaan rahasia (revelation plot), (c) plotafektif (affektive plot), dan (d) plot kekecewaan (disillusionment plot).

BAB 6
PENOKOHAN

1.      UNSUR PENOKOHAN DALAM FIKSI
Kejelasan mengenai tokoh dan penokohan dalam banyak hal tergantung pada pemplotannya.
a.         Pengertian dan hakikat penokohan. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh cerita atau character adalah orang – orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Kewajaran fiksi adalah suatu bentuk karya kreatif maka bagaimana pengarang mewujudkan dan mengembangkan tokoh – tokoh ceritanya pun tidak lepas dari kebebasan kreativitasnya. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada penmbaca. Tokoh cerita hendaknya bersifat alami, memiliki sifat lifelikeness, kesepertihidupan. Tokoh – tokoh cerita yang ditampilkan dalam fiksi, sesuai namanya adalah tokoh rekaan. Tokoh – tokoh sejarah tertentu, tokoh manusia nyata, bukan rekaan pengarang adalah tokoh nyata.
b.   Penokohan dan unsur cerita yang lain. Fiksi merupakan sebuah keseluruhan yang utuh dan memiliki ciri artistik. Plot adalah sesuatu bentuk pengalaman. Penokohan dan pemplotan merupakan dua fakta cerita yang saling mempengaruhi dan menguntungkan satu dengan yang lain. Plot adalah apa yang dilakukan tokoh dan apa yang menimpanya. Jatidiri seorang tokoh ditentukan oleh peristiwa – peristiwa yang menyertainya, begitu pula sebaliknya. Penokohan dengan tema, tokoh – tokoh cerita merupakan pelaku penyampai tema.
c.    Relevansi tokoh. Relevansi tokoh dan penokohan harus dilihat dalam kaitannya dalam berbagai unsur yang lain dan peranannya dalam cerita secara keseluruhan.

1.      PEMBEDAAN TOKOH
a.      Tokoh utama dan tokoh tambahan
Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita, sedangkan tokoh kedua dalah tokoh tambahan. Tokoh utama  diutamakan dalam penceritaannya.
b.        Tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero- tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita, sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik.
c.         Tokoh tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana dalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat, watak yang tertentu saja. Tokoh bulat adalah tokoh yang memilki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadiannya dan jatidirinya. Perbedaan antara sederhana dan kompleks itu lebih bersifat penggradasian, berdasarkan kompleksitas watak yang dimiliki para tokoh. Fungsi tokoh sederhana dapat menambah tingkat intensitas kekompleksan tokoh lain yang memang dipersiapkan sebagi tokoh bulat.
d.        Tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot yang dikisahkan.
e.         Tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri.

2.        TEKNIK PELUKISAN TOKOH
Secara garis besar teknik pelukisan tokoh yaitu pelukisan sifat, sikap, watak, tingkah lau. berbagai hal lain yang berhubungan dengan jatidiri dibedakan dalam dua teknik, yaitu teknik ekspositori atau secara langsung, dan teknik dramatik atau secara tidak langsung.
a.       Teknik ekspositori adalah pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Teknik pelukisan ini bersifat sederhana dan cenderung ekonomis.
b.      Teknik dramatik adalah mirip yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tak  langsung, artinya pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Dalam teknik dramatik dapat dilihat melalui teknik cakapan. Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Teknik tingkah laku, jika teknik cakapan dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku verbal yang berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal, fisik. Teknik pikiran dan perasaan, keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, yang sering dipikir dan dirasakan oleh tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kesendiriannya jua. Teknik arus kesadaran, berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Teknik reaksi tokoh, dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap atau tingkah laku orang lain, dan sebagainya yang berupa rangsang dari luar diri tokoh yang bersangkutan. Teknik reaksi tokoh lain, dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. Teknik pelukisan latar, pelukisan suasana latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain. Teknik pelukisan fisik, berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu.
c.       Catatan tentang identifikasi tokoh. Unsur pengidentifikasian tokoh, yaitu prinsip pengulangan adalah tokoh cerita yang belum kita kenal, akan menjadi kenal dan akrab jika kita dapat menemukan dan mengidentifikasai adanya kesamaan sifat, sikap, watak, dan tingkah laku ada bagian – bagian selanjutnya. Prinsip pengumpulan adalah seluruh kedirian tokoh diungkapkan sedikit demi sedikit dalam seluruh ceriita. Pinsip kemiripan dan pertentangan adalah dengan membandingkan antar seorang tokoh dengan tokoh lain dari cerita fiksi yang bersangkutan.



BAB 7
PELATARAN

1.      LATAR SEBAGAI UNSUR FIKSI
a.      Pengertian dan Hakikat Latar. Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams,1981:175). Latar dibedakan menjadi dua yaitu latar fisik dan latar spiritual. Latar fisik adalah latar tempat, yang berhubungan secara jelas menyaran pada lokasi tertentu, sedangkan latar spiritual adalah latar dalam karya fiksi tidak terbatas pada penempatan lokasi-lokasi tertentu, atau sesuatu yang bersifat fisik saja, melainkan juga yang berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutanjadi latar spiritual itu nilai-nilai yang melingkupi dan dimiliki oleh latar fisik.
b.      Latar Netral dan Latar Tipikal. Latar netral adalah latar sebuah karya yang hanya bersifat demikian. Latar tipikal adalah latar yang memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik yang menyangkut unsur tempat, waktu, maupun sosial.
c.       Penekanan Unsur Latar. Latar netral menyaran pada kurangnya pendekatan unsur latar, sebaliknya latar tipikal pada adanya penekanan unsur latar. Sehingga unsur latar yang ditekankan perannya dalam sebuah novel, langsung ataupun tidak langsung, akan berpengaruh terhadap elemen fiksi yang lain, khususnya alur dan tokoh. Jika elemen tempat mendapat penekanan dalam sebuah novel, makan akan dilengkapi dengan sifat khas keadaan geografis setempat yang mencirikannya.
d.      Latar dan Unsur Fiksi yang Lain. Latar sebuah karya sastra hanya berupa penyebutan tempat, waktu, dan hubungan sosial tertentu secara umum, artinya bersifat netral, dan tak banyak berperan dalam pengembangan cerita secara keseluruhan serta kurang berpengaruh terhadap unsur-unsur fiksi yang lain, khususnya alur dan tokoh.

2.      UNSUR LATAR
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial.
a.       Latar Tempat. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
b.      Latar waktu. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
c.       Latar sosial. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
d.      Catatan tentang Anakronisme. Anakronisme menyaran pada pengertian adanya ketidaksesuaian dengan urutan (perkembangan) waktu dalam sebuah cerita. Waktu yang dimaksud adalah waktu cerita dan waktu sejarah. Penyebab anakronisme mungkin berupa masuknya “waktu” lampau ke dalam cerita yang berlatar waktu kini atau sebaliknya “waktu” kini kedalam cerita yang berlatar “waktu” lampau.

3.      HAL LAIN TENTANG LATAR
Latar dilihat dari sisi fungsi yang lain dan lebih menyaran pada fungsi latar sebagai pembangkit tanggapan atau suasana tertentu dalam cerita, fungsi latar yang dimaksud adalah fungsi latar sebagai metafora dan latar sebagai atmosfir.
a.       Latar sebagai metaforik. Penggunaan istilah metafora menyaran pada suatu pembandingan yang mungkin berupa sifat keadaan, suasana, ataupun sesuatu yang lain. Metafora erat berkaitan dengan pengalaman kehidupan manusia baik bersifat fisik maupun budaya (Lakoff & Johnson, 1980:18).
b.      Latar sebagai atmosfer. Atmosfer dalam cerita merupakan “udara yang dihirup pembaca sewaktu memasuki dunia rekaan”. Serta berupa deskripsi kondisi latar yang mampu menciptakan suasana tertentu, misalnya suasana ceria, romantis, sedih, muram, maut, misteri dan sebagainya. Latar yang memberikan atmosfer cerita biasanya berupa latar penyituasian yang mampu menarik pembaca ke dalam cerita, sehingga membuat pembaca terlibat secara emosional.


BAB 8
PENYUDUTPANDANGAN

Sudut pandang,  point of view, viewpoint, merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh staton digolongkan sebagai sarana cerita.



1.      SUDUT PANDANG SEBAGAI UNSUR FIKSI
a.      Hakikat sudut pandang. Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa yang menceritakan, atau dari posisi mana peristiwa atau tindakan itu dilihat. Pengertian sekitar sudut pandang, menyaran para sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa, yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams, 1981 : 142). Dengan demikian, sudut pandang  pada hakekatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.
b.      Pentingnya sudut pandang. Sudut pandang  dianggap sebagai salah satu unsur fiksi yang penting dan menentukan. Penggunaan sudut pandang aku ataupun dia, yang biasanya juga berarti tokoh aku atau tokoh dia, dalam karya fiksi adalah untuk memerankan dan menyampaikan berbagai hal yandg disampaikan pengarang. Ia dapat berupa ide, gagasan, nilai-nilai, sikap, dan pandangan hidup, kritik, pelukisan,penjelasan, dan pengiformasian, namun demi kebagusan cerita, yang  kesemuanya dipertimbangkan dapat mencapai tujuan artistik.
c.       Sudut pandang sebagai penonjolan. Penulisan karya fiksi, seperti pada umumnya penulisan penulisan sastra, tak pernah lepas dari peyimpangan dan pembaharuan, baik hanya meliputi satu-dua elemen tertentu maupun sejumlah elemen sekaligus dalam sebuah karya.

2.      MACAM SUDUT PANDANG
            Pembedaan sudut dapat dilihat dari bagaimana kehadiraan cerita itu kepada pembaca, lebih bersifat pencitraan, telling atau penunjukan, showing, naratif atau dramatik. Pembedaan sudut pandang yang akan dikemukakan berikut berdasarkan pembedaan yang telah umum dilakukan orang, yaitu bentuk persona tokoh cerita persona ketiga dan persona pertama.
a.      Sudut pandang persona ketiga: “dia”. Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah: seseorang yang berada diluar ceritayang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat  kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya. Di satu pihak pengarang, narator, dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”, jadi bersifat mahatahu, di lain pihak ia terikat, mempunyai keterbatasan ”pengertian” terhadap tokoh “dia” yang diceritakan itu, jadi bersifat terbatas, hanya selaku pengamat saja.
b.      Sudut  pandang  persona pertama: “Aku”. Narator adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita.Ia adalah si “Aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan serta sikapnya terhadap orang lain kepada pembaca. Dan bersifat eksternal, maka narator dapat mengambil sikap terbatas atau  tidak  terbatas, tergantung keadaan keadaan cerita yang akan dikisahkan.
c.       Sudut pandang campuran. Penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran itu di dalam sebuah novel, mungkin berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik ”dia” mahatau dan “dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik “aku” sebagai tokoh utama dan “aku” tambahan atau sebagai saksi, bahkan dapat berupa campuran antara persona pertama dan ketiga antara “aku” dan “dia” sekaligus.

BAB 9
BAHASA

1.      BAHASA SEBAGAI UNSUR FIKSI
a.      Bahasa sastra : Sebuah fenomena. Bahasa sastra mungkin dicirikan sebagai bahasa yang mengandung unsur emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa nonsastra, khususnya bahasa ilmiah, yang rasional dan denotatif. Ciri adanya unsur “pikiran” bukan hanya monopoli bahasa nonsastra tetapi bahasa sastra pun memilikinya. Sebaliknya ciri unsur emotif  pun bukan hanya monopoli bahasa sastra.
b.      Stile dan stilistika. Stile dan hakikat stile. Stile adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengukapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Stile ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain. Stilistika dan Hakikat Stilistika. Stilistika menyaran pada pengertian studi tentang stile, kajian terhadap wujud performasi kebahasaan, khususnya yang terdapat di dalam karya sastra. Analisis stilistika biasanya dimaksudkan untuk menerangkan sesuatu, yang pada umumnya dalam dunia kesastraan untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya. Tanda-tanda stilistika berupa : Fonologi, misalnya pola suara ucapan dan irama. Sintaksis: misalnya jenis struktur kalimat. Leksikal : Pengunaan kata abstrak dan konkret. Penggunaan bahasa yang figuratif.
c.       Stile Dan Nada. Membaca sebuah novel biasanya akan merasakan adanya nada tertentu yang tersirat dari novel tersebut, khususnya yang disebabkan oleh efek pemilihan ungkapan bahasa. Nada, nada pengarang dalam pengertian yang luas, dapat diartikan sebagai pendirian atau sikap yang diambil pengarang terhadap pembaca dan terhadap masalah yang dikemukakan sebelumnya.
2.      UNSUR STILE
a.         Unsur Leksikal. Unsur leksikal yang dimaksud sama pengertiannya dngan diksi, yaitu yang mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang.
b.        Unsur Gramatikal. Unsur Gramatikal yang dimaksud  menyaran pada pengertian struktur kalimat.
c.         Retorika. Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis. Unsur retorika sendiri meliputi: pemajasan, penyiasatan struktur dan pencitraan.
d.        Kohesi. Antara bagian satu dengan bagian yang lain, atau kalimat yang satu dengan yang lain, terhadap hubungan yang bersifat mengaitkan antar bagian kalimat atau antar kalimat itu.

3.      PERCAKAPAN DALAM NOVEL
a.      Narasi dan Dialog. Pengukapan bahasa dengan gaya narasi, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah semua penuturan yang bukan bentuk percakapan, sering dapat menyampaikan sesuatu secara lebih singkat dan langsung. Gaya dialog pun hanya akan terasa hidup dan terpahami dalam konteks situasi yang dicipta dan dikisahkan lewat gaya narasi. Dengan demikian, pengungkapan bentuk narasi dan dialog dalam sebuah novel seharusnya berjalan seiring, sambung-menyambung, dan saling melengkapi.
b.      Unsur Pragmatik dalam Percakapan. Ketepatan penggunaan bahasa percakapan adalah ketepatan konteks situasi, maka bentuk percakapan dalam sebuah situasi belum tentu tepat untuk situasi yang lain.
c.       Tindak Ujar. Austin membedakan penampilan tindak ujar kedalam tiga macam  tindak yaitu:
·         Lokusi : suatu bentuk ujaran yang mengandung makna adanya hubungan antara subjek dengan  predikat, pokok dengan sebutan, atau antara topik dengan penjelasan.
·         Ilokusi: bentuk-bentuk ujaran yang dibedakan berdasarkan intonasi kalimat.
·         Perlokusi : adanya suatu bentuk pengucapan yang menyaran pada makna yang lebih dalam, yamg tersembunyi dibalik ucapan itu sendiri.


BAB 10

MORAL

1.      UNSUR MORAL DALAM FIKSI
a.      Pengertian dan Hakikat Moral. Moral  dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam wujud yang sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral (Kenny, 1996: 89). Secara umum moral menyarankan pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya: akhlak, budi pekerti, susila (KBBI,1994). Moral dalam cerita, menurut Kenny (1996: 89), biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Pesan moral sastra lebih memberatkan pada sifat kodrati manusia yang hakiki.
b.      Jenis dan Wujud Pesan Moral. Jenis ajaran moral dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia. Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia itu dapat dibedakan ke dalam persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Jenis hubungan tersebut masing-masing dapat dirinci kedalam detil-detil yang lebih khusus.


2.      PESAN RELIGIUS DAN KRITIK SOSIAL
a.      Pesan Religius dan Keagamaan. Sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Pada awal mula segala sastra adalah religius (Mangunwijaya, 1982: 11). Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum yang resmi. Religius bersifat mengatasi, lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang tampak formal, dan resmi (Mangunwijaya, 1982: 11-2). Seorang religius adalah orang yang mencoba memahami dan menghayati hidup dan kehidupan ini lebih dari sekedar yang lahiriah saja.
b.      Pesan Kritik Sosial. Hampir semua novel Indonesia mengandung unsur kritik sosial dengan intensitas yang berbeda. Banyak karya sastra yang bernilai tinggi yang di dalamnya menampilkan pesan pesan kritik sosial. Sastra yang mengandung pesan kritik dapat juga disebut sebagai sastra kritik biasanya akan lahir ditengah masyarakat jika terjadi hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial dan masyarakat.

3.      BENTUK PENYAMPAIAN PESAN MORAL
a.      Bentuk Penyampaian Langsung. Bentuk penyampaian ini identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling, atau penjelasan, expository. Dalam teknik uraian pengarang secara langsung mendeskripsikan perwatakan tokoh cerita yang bersifat “memberi tahu” atau memudahkan pembaca untuk memahaminya. Artinya moral yang ingin disampaikan kepada pembaca dilakukan secara langsung dan eksplisit. Dilihat sari segi kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan sesuatu kepada pembaca.  Teknik penyampaian langsung tersebut komunikatif, artinya pembaca secara mudah dapat memahami apa yang dimaksudkan.
b.      Bentuk Penyampaian Tidak Langsung. Dalam teknik ini pesan hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara keherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Dari segi kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan pesan, cara ini kurang komunikatif, artinya pembaca belum tentu dapat menangkap apa sesungguhnya yang dimaksudkan pengarang, paling tidak kemungkinan terjadinya kesalahan tafsir berpeluang besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar