Kamis, 21 Maret 2013

HAM

HAK ASASI MANUSIA

Disusun Guna Melengkapi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu : Danang Tunjung Laksono, S.Pd.

Disusun oleh :

Endah Kurniawati                   A 310 100 045
Semester 3 / Kelas E

PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012

A.   Pendahuluan
Manusia pada hakikatnya secara kodrati dianugerahi hak-hak pokok yang sama oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak pokok ini disebut Hak Asasi Manusia (HAM). Hak asasi manusia adalah sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi yang berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Pada gilirannya, hak-hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, dimana hak-hak asasi ini menjadi dasar daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam makalah ini akan dikupas tuntas tentang masalah HAM. Apa pengertian HAM itu sendiri, bagaimana sejarah lahirnya HAM, Deklarasi HAM, tinjauan HAM menurut negara barat, tinjauan HAM menurut Islam, perkembangan HAM di Indonesia dari periode sebelum kemerdekaan samapai sekarang dan aturan-aturan tentang HAM yang terdapat dalam UUD 1945 yang telah di amandemen.
Tujuan penulis membuat makalah ini, agar pembaca dapat mengetahui HAM secara lebih jelas lagi. Penulis berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi banyak orang.

B.     HAM
1.      Pengertian HAM
Hak asasi manusia adalah hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia, yang bersifat kodrati. Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian, bukan berarti dengan hak-haknya itu manusia dapat berbuat semaunya. Sebab, apabila seseorang malakukan sesuatu yang dapat di kategorikan melanggar hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatanya.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia, nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 1 disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Manusia sebagai makhluk Tuhan mempunyai sifat kodrat monodualis yakni sifat individu (pribadi perorangan) dan sifat sosial (bersama orang lain) yang seimbang dan dinamis, sehingga kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Hal ini berarti bahwa setiap orang mengemban kewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang lain. Hal ini berlaku juga bagi setiap organisasi masyarakat, terutama negara dan pemerintah harus bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela dan menjamin hak asasi manusia setiap warga dan penduduk (Noor, 2009:228-229).

2.     Sejarah Lahirnya HAM
Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaanya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir doktrin, raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggung jawab kepada hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan, kalau raja melanggar hukum harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya kepada parlemen. Jadi, sudah mulai dinyatakan, bahwa raja terikat kepada hukum dan bertanggung jawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat Undang-undang pada masa itu lebih banyak berada ditangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai embrio lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai simbol belaka. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkret, dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul adagium yang intinya adalah bahwa manusia sama dimuka hukum (equality before the low). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi. Bill of rights melahirkan asas persamaan. Para pejuang HAM dahulu sudah berketetapan bahwa hak persamaan harus diwujudkan betapapun beratnya resiko yang dihadapi karena hak kebebasan baru diwujudkan kalau ada hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka lahirlah teori Roesseau (tentang contract social/perjanjian masyarakat), Motesquieu dengan trias politiknya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan guna mencegah tirani, John Locke di Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Roesseau dan Montesqueu. Jadi, walaupun di Perancis sendiri belum dirinci apa HAM itu, tetapi di Amerika Serikat lebih dahulu mencanangkan secara lebih rinci. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus dibelenggu.
Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration, dimana hak-hak yang lebih rinci lagi melahirkan dasar The Rule of Law. Antara lain dinyatakan tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan pula Presumption of Innocence, artinya orang-orang yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dipertegas juga dengan freedom of expression (bebas mengeluarkan pendapat), freedom of religion (bebas  menganut keyaknan/agama yang dikehendaki), the right of property (perlindungan terhadap hak milik) dan hak-hak dasar lainnya. Jadi French Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang menjamin tumbuhnya demokrasi maupun negara hukum yang asas-asanya sudah dicanangkan sebelumnya.
Perlu juga diketahui The Four Freedoms dari presiden Roosevelt yang dicanangkan pada tanggal 6 Januari 1941. Ada 4 hak yaitu : (1) hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, (2) hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya, (3) hak kebebasan dari kemiskinan dan (4) hak kebebasan dari ketakutan.
http://imadekariada.blogspot.com/2008/08/sejarah-hak-asasi-manusia.html

Pada tahun 1944 diadakan Konferensi Buruh Internasional di Philadelphia yang kemudian menghasilkan Deklarasi Philadelphia. Isi dari konferensi tersebut tentang kebutuhan penting untuk menciptakan perdamaian dunia berdasarkan keadilan sosial dan perlindungan seluruh manusia apapun ras, kepercayaan, atau jenis kelaminnya, memiliki hak untuk mengejar perkembangan material dan spiritual dengan bebas dan bermatabat, keamanan ekonomi dan kesempatan yang sama. Semua hak-hak ini setelah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan The Universal Declaration of Human Rights yang diciptakan oleh PBB pada tahun 1948 (Noor, 2009:231).

3.     Deklarasi HAM
DEKLARASI UNIVERSAL
HAK-HAK ASASI MANUSIA

Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III)

Mukadimah

·         Menimbang bahwa pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak terasingkan dari semua anggota keluarga kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian di dunia.
·         Menimbang bahwa mengabaikan dan memandang rendah pada hak-hak asasi manusia telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan dalam hati nurani umat manusia dan bahwa terbentuknya suatu dunia di mana manusia akan mengecap kenikmatan kebebasan dari rasa takut dan kekurangan telah dinyatakan sebagai aspirasi tertinggi dari rakyat jelata.
·         Menimbang bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum supaya orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha yang terakhir guna menentang kelaliman dan penjajahan.
·         Menimbang bahwa persahabatan antara negara-negara perlu dianjurkan.
·         Menimbang bahwa bangsa-bangsa dari anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Piagam telah menyatakan sekali lagi kepercayaan mereka atas hak-hak dasar dari manusia, martabat serta penghargaan seorang manusia, dan hak-hak yang sama bagi laki-laki maupun perempuan dan telah memutuskan akan meningkatkan kemajuan sosial dan tingkat penghidupan yang lebih baik dalam kemerdekaan yang lebih luas.
·         Menimbang bahwa negara-negara anggota telah berjanji akan mencapai perbaikan penghargaan umum terhadap pelaksanaan hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan asasi dalam kerja sama dengan PBB.
·         Menimbang bahwa pengertian umum terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini adalah penting sekali untuk pelaksanaan janji ini secara benar (Noor, 2009 : 232-233).

Maka dengan ini, Majelis Umum PBB memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai suatu standar umum untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar setiap orang dan setiap badan di masyarakat dengan senantiasa mengingat Deklarasi ini, akan berusaha dengan cara mengajarkan dan memberikan pendidikan guna menggalakkan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut dan dengan jalan tindakan-tindakan yang progresif yang bersifat nasional maupun internasional, menjamin pengakuan dan penghormatannya yang universal dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari negara-negara anggota sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari wilayah yang ada di bawah kekuasaan hukum mereka.
·         Pasal 1
Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.
·         Pasal 2
Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam pernyataan ini tanpa pengecualian apa pun, misalnya bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal usul kebangsaan atau soaial, milik, kelahiran atau status lainnya. Selanjutnya, tidak ada perbedaan status politik, status hukum, dan status internasional negara atau wilayah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang tidak merdeka, yang berbentuk trust, yang tidak berpemerintahan sendiri maupun yang berada di bawah pembatasan kedaulatan lainnya.
·         Pasal 3
Setiap orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan, dan keselamatan seseorang.
·         Pasal 4
Seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apa pun harus dilarang.
·         Pasal 5
Tidak seorang pun boleh dianiaya atau diperlakukan secara kejam tanpa mengingat kemanusiaan atau dengan perlakuan atau hukuman yang menghinakan.
·         Pasal 6
Setiap orang berhak atas pengakuan sebagai manusia pribadi dihadapan undang-undang dimana saja ia berada.
·         Pasal 7
Semua orang adalah sama dihadapan undang-undang dan berhak atas perlindungan yang sama dari setiap perbedaan yang memerkosa pernyataan ini dan dari segala hasutan yang ditujukan kepada perbedaan semacam ini.
·         Pasal 8
Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh hakim-hakim nasional yang berkuasa mengadili perkosaan hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar negara atau undang-undang.
·         Pasal 9
Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang.
·         Pasal 10
Setiap orang berhak memperoleh perlakuan yang sama dan suaranya didengarkan sepenuhnya di muka umum secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak dalam menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya.
·         Pasal 11
(1)   Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu pelanggaran pidana dianggap tak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya menurut undang-undang dalam suatu sidang pengadilan yang terbuka dimana segala jaminan yang perlu untuk pembelaannya diberikan.
(2)   Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran pidana karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu pelanggaran pidana menurut undang-undang nasional  atau internasional ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan  hukuman yang lebih berat daripada hukuman yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran pidana itu dilakukan.
·         Pasal 12
Tidak seorang pun dapat diganggu secara sewenang-wenang dalam urusan perseorangannya, keluarganya, rumah tangganya, hubungan surat-menyuratnya dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan undang-undang terhadap gangguan-gangguan atau pelanggaran-pelanggaran demikian.
·         Pasal 13
(1)   Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam batas-batas lingkungan tiap negara.
(2)   Setiap orang berhak meninggalkan satu negeri, termasuk negerinya sendiri dan berhak kembali ke negerinya.
·         Pasal 14
(1)   Setiap orang berhak mencari dan mendapat suaka di negeri-negeri lain untuk menjahui pengejaran.
(2)   Hak ini tidak dapat dipergunakan dalam pengejaran yang benar-benar timbul dari kejahatan-kejahatan yang tak berhubungan dengan politik atau dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dasar-dasar PBB.
·         Pasal 15
(1)   Setiap orang berhak atas suatu kewarganegaraan.
(2)   Tidak seorang pun dengan semena-mena dapat dikeluarkan dari kewarganegaraannya atau ditolak haknya untuk mengganti kewarganegaraannya.
·         Pasal 16
(1)   Orang-orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, berhak untuk mencari jodoh dan untuk membentuk keluarga tanpa dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan atau agama. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, didalam perkawinan, dan dikala perceraian.
(2)   Perkawinan harus dilakukan hanya dengan cara suka sama suka dari kedua mempelai.
(3)   Keluarga adalah kesatuan yang sewajarnya serta bersifat pokok dari masyarakat dan berhak mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara.
·         Pasal 17
(1)   Setiap orang berhak mempunyai milik baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain.
(2)   Tidak seorang pun boleh dirampas miliknya dengan semena-mena.
·         Pasal 18
Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan dengan cara sendiri maupun bersama-sama orang lain di tempat umum maupun di tempat tersendiri.
·         Pasal 19
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, termasuk kebebasan mempunyai pendapat tanpa mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima serta menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apa pun tanpa memandang batas-batas.


·         Pasal 20
(1)   Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berpendapat.
(2)   Tidak seorang pun dapat dipaksa memasuki salah satu perkumpulan.
·         Pasal 21
(1)   Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri baik secara langsung maupun dengan perantaran wakil-wakil yang dipilih secara bebas.
(2)   Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintah negerinya.
(3)   Kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kemauan ini harus dinyatakan dalam pemilihan-pemilihan berkala yang jujur yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan serta melalui pemungutan suara yang rahasia atau cara-cara lain yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.
·         Pasal 22
Setiap orang sebagai anggota masyarakat berhak atas jaminan sosial dan berhak melaksanakan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang perlu untuk martabatnya dan untuk perkembangan bebas pribadinya dengan perantaraan usaha-usaha nasional dan kerjasama internasional yang sesuai dengan sumber-sumber kekayaan setiap negara.
·         Pasal 23
(1)   Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak memilih pekerjaan dengan bebas, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan baik serta atas perlindungan terhadap pengangguran.
(2)   Setiap orang, tanpa ada perbedaan, berhak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama.
(3)   Setiap orang yang melakukan pekerjaan berhak atas pengupahan yang adil dan baik yang menjamin  penghidupannya bersama dengan keluarganya sepadan dengan martabat manusia dan apabila perlu ditmbah dengan bantuan-bantuan sosial lainnya.
(4)   Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat sekerja untuk melindungi kepentingan-kepentingannya.
·         Pasal 24
Setiap orang berhak atas istirahat dan liburan, termasuk pembatasan-pembatasan jam kerja yang layak dan hari-hari liburan berkala dengan menerima upah.
·         Pasal 25
(1)   Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan, keadaan yang baik untuk dirinya dan keluarganya, termasuk soal makanan, pakaian, perumahan, perawatan kesehatannya serta usaha-usaha sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan diwaktu mengalami pengangguran, kematian suami, lanjut usia, atau mengalami kekurangan nafkah atau ketiadaan mata pencaharian yang lain diluar penguasaannya.
(2)   Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan khusus. Semua anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama.
·         Pasal 26
(1)   Setiap orang berhak mendapat pengajaran. Pengajaran harus dengan percuma, setidak-tidaknya dalam tingkat rendah dan tingkat dasar. Pengajaran sekolah rendah diwajibkan. Pengajaran teknik dan fak harus terbuka bagi semua orang dan pengajaran tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang berdasarkan kecerdasan.
(2)   Pengajaran harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta upaya memperkukuh rasa penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Pengajaran harus meningkatkan saling pengertian, rasa saling menerima, persahabatan antara semua bangsa, golongan kebangsaan atau kelompok agama, dan harus memajukan kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam memelihara perdamaian.
(3)   Ibu-bapak mempunyai hak utama untuk memilih jenis pengajaran yang akan diberikan kepada anak-anak mereka.
·         Pasal 27
(1)   Setiap orang berhak untuk turut serta secara bebas dalam kehidupan budaya masyarakat, untuk mengecap kenikmatan kesenian, dan untuk turut serta dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan dalam mendapat manfaatnya.
(2)   Setiap orang berhak mendapat perlindungan atas kepentingan-kepentingan moril dan materiil yang didapatnya sebagai hasil dari lapangan ilmu penegtahuan, kesusasteraan, atau kesenian yang diciptakannya sendiri.
·         Pasal 28
Setiap orang berhak atas susunan sosial internasional dimana hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang termaktub dalam pernyataan ini dapat dilaksanakan sepenuhnya.
·         Pasal 29
(1)   Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat dimana ia mendapat kemungkinan untuk mengembangkan pribadinya sepenuhnya dan seutuhnya.
(2)   Didalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak bagi hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain dan untuk memenuhi syarat-syarat benar kesusilaan, tata tertib umum dalam suatu masyarakat demokratis.
(3)   Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini tidak boleh dijalankan dengan cara yang bertentangan dengan tujuan-tujuan dan dasar-dasar PBB.
·         Pasal 30
Tidak sesuatu pun dalam pernyataan ini boleh diartikan sebagai pemberian hak kepada salah satu negara, golongan atau seorang untuk melakukan kegiatan atau perbuatan yang bertujuan merusak salah satu hak dan kebebasan yang termaktub dalam pernyataan ini (Sumarsono (dkk) dalam Noor, 2009).
C.   Tinjauan HAM Menurut Negara Barat
Istilah hak asasi manusia baru muncul setelah Revolusi Perancis, dimana para tokoh borjuis berkoalisi dengan tokoh-tokoh gereja untuk merampas hak-hak rakyat yang telah mereka miliki sejak lahir. Akibat dari penindasan panjang yang dialami masyarakat Eropa dari kedua kaum ini, muncullah perlawanan rakyat dan yang akhirnya berhasil memaksa para raja mengakui aturan tentang hak asasi manusia.
Diantaranya adalah pengumuman hak asasi manusia dari Raja John kepada rakyat Inggris tahun 1216. Di Amerika pengumuman dilakukan tahun 1773. Hak asasi ini lalu diadopsi oleh tokoh-tokoh Revolusi Perancis dalam bentuk yang lebih jelas dan luas, serta dideklarasikan pada 26 Agustus 1789. Kemudian deklarasi Internasional menegenai hak-hak asasi manusia dikeluarkan pada Desember 1948.
Terdapat berbagai klasifikasi mengenai hak asasi manusia menurut pemikiran barat, diantaranya :
a.       Pembagian hak menurut hak materiil yang termasuk didalamnya : hak keamanan, kehormatan dan pemilihan serta tempat tinggal dan hak moril, yang termasuk didalamnya : hak beragama, hak sosial dan berserikat.
b.      Pembagian hak menjadi tiga : hak kebebasan kehidupan pribadi, hak kebebasan kehidupan rohani dan hak kebebasan membentuk perkumpulan dan perserikatan.
c.       Pembagian hak menjadi dua : kebebasan negatif yang membentuk ikatan-ikatan terhadap negara untuk kepentingan warga, kebebasan positif yang meliputi pelayanan negara kepada warganya.
Dapat dimengerti bahwa pembagian-pembagian ini hanya melihat dari sisi larangan negara menyentuh hak-hak ini. Sebab hak asasi dalam pandangan barat tidak dengan sendirinya mengharuskan negara memberi jaminan keamanan atau pendidikan dan lain sebagainya. Akan tetapi untuk membendung pengaruh Sosialimsme dan Komunisme, partai-partai politik Barat mendesak agar negara ikut campur tangan dalam memberi jaminan hak-hak asasi seperti untuk bekerja dan jaminan sosial.
http://re-searchengines.com/0805arief4.html

D.   Tinjauan HAM Menurut Islam
Sesungguhnya agama Islam telah mendominasi benua Asia , Afrika dan sebagian Eropa selama beratus-ratus tahun lamanya dan menjadi faktor penting bagi kebangkitan bangsa-bangsa Eropa (Luhulima, 1999). Tetapi fakta historis seperti ini jadinya diabaikan mereka, sesudah orang-orang Islam ditaklukkan dalam perang Salib terakhir (abad 14-15) di Eropa, hingga pasca perang dunia II (1945).
Kita dapat menemukan diberbagai surat dalam Kitab Suci Al-Qur’an yang diturunkan pada awal-awal periode Mekah, yang berbicara tentang pengutukan terhadap berbagai bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berlaku pada masa itu. Al-Qur’an tidak hanya mengutuk berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia yang terjadi pada masa itu, tetapi juga memberikan motivasi secara positif kepada manusia untuk menghargai hak-hak tersebut. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah S.W.T :
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh” (Q.S. At-Takwir : 8-9)
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (Q.S. Al-Ma’un : 1-3)
“Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan” (Q.S. Al-Balad : 12-13)
Nabi Muhammad S.A.W yang kehidupannya merupakan praktik nyata dari kandungan Al-Qur’an, sejak awal kenabiannya telah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap hak-hak asasi manusia ini. Setelah beliau hijrah ke Kota Madinah dan mendirikan secara penuh suatu negara Islam sesuai dengan petunjuk Illahi, maka beliau segera menerapkan program jangka panjang untuk menghapus segala bentuk tekanan yang ada terhadap hak-hak asasi manusia.
Nabi Muhammad S.A.W telah mengadakan berbagai tindakan sebagaimana telah ditetapkan dalam Al-Qur’an yang menghendaki terwujudnya pelaksanaan hak-hak asasi manusia. Selain itu, beliau telah memproklamasikan kesucian hak-hak asasi manusia ini untuk segala zaman ketika berkhutbah di depan kaum muslim pada waktu haji wada’.
Kedudukan penting HAM sesudah wafatnya Rosulullah S.A.W dan diteruskan oleh Khulafa ar Rosyidin, serta sistem kekuasaan Islam berganti dengan monarki. Disini HAM dalam Islam tetap mendapatkan perhatian luar biasa masyarakat Islam. HAM dalam Islam bukanlah sifat perlindungan individu terhadap kekuasaan negara yang terbatas, namun merupakan tujuan dari negara itu sendiri untuk menjaga hak-hak asasi manusia terutama bagi mereka yang terampas hak-haknya. Kini Islam telah memberikan sinar harapan bagi umat manusia yang menderita dengan cara memberikan, melaksanakan dan menjamin hak-hak asasi manusia itu.
Selanjutnya, untuk menandai permulaan abad ke-15 Era Islam, bulan September 1981 di Paris (Perancis), telah diproklamasikan Deklarasi HAM Islam Sedunia. Deklarasi ini berdasarkan Kitab Suci Al-Qur’an dan As-Sunnah serta telah dicanangkan oleh para sarjana muslim, ahli hukum dan para perwakilan pergerakkan Islam di seluruh dunia.
Deklarasi HAM Islam Sedunia itu terdiri dari Pembukaan dan 22 macam hak-hak asasi manusia yang harus ditegakkan, yakni mencakup :
1.      Hak Hidup
2.      Hak Kemerdekaan
3.      Hak Persamaan dan Larangan terhadap Adanya Diskriminasi yang Tidak Terizinkan
4.      Hak Mendapat Keadilan
5.      Hak Mendapatkan Proses Hukum yang Adil
6.      Hak Mendapatkan Perlindungan dari Penyalahgunaan Kekuasaan
7.      Hak Mendapatkan Perlindungan dari Penyiksaan
8.      Hak Mendapatkan Perlindungan atau Kehormatan dan Nama Baik
9.      Hak Memperoleh Suaka (Asylum)
10.   Hak-hak Minoritas
11.   Hak dan Kewajiban untuk Berpartisipasi dalam Pelaksanaan dan Manajemen Urusan-urusan Publik
12.   Hak Kebebasan Percaya, Berpikir dan Berbicara
13.   Hak Kebebasan Beragama
14.   Hak Berserikat Bebas
15.   Hak Ekonomi dan Hak Berkembang Darinya
16.   Hak Mendapatkan Perlindungan atas Harta Benda
17.   Hak Status dan Martabat Pekerja dan Buruh
18.   Hak Membentuk Sebuah Keluarga dan Masalah-masalahnya
19.   Hak-hak Wanita yang sudah Menikah
20.   Hak Mendapatkan Pendidikan
21.   Hak Menikmati Keleluasaan Pribadi (Privacy)
22.   Hak Mendapatkan Kebebasan Berpindah dan Bertempat Tinggal
http://re-searchengines.com/0805arief4.html
E.   Perkembangan HAM di Indonesia
1.      Periode sebelum kemerdekaan (1908-1945)
Dalam konteks pemikiran HAM, para pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dimuat surat kabar Goeroe Desa. Selanjutnya, pemikiran HAM pada Perhimpunan Indonesia banyak dipengaruhi oleh para tokoh organisasi seperti Mohammad Hatta, Nazir Pamontjak, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis dan sebagainya. Pemikiran HAM para tokoh tersebut lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination).
Selanjutnya, sarekat Islam (organisasi kaum santri yang dimotori oleh H. Agus Salim dan Abdul Muis) menekankan pada usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial. Sedangkan pemikiran HAM dalam Partai Komunis Indonesia sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak-hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu-isu yang berkenaan dengan alat produksi. Konsen terhadap HAM juga ada pada Indische Partij. Pemikiran HAM yang paling menonjol pada Indische Partij adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan. Sedangkan pemikiran HAM pada Partai Nasional Indonesia mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan (the right of self determination). Adapun pemikiran HAM dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk mengeluarkan pendapat, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan dimuka hukum, serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan negara (Noor, 2009 : 243-244).
Pemikiran HAM juga terjadi dalam perdebatan disidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) antara Soekarno dan Soepomo disatu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan dimuka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak berkumpul, hak mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Dengan demikian gagasan dan pemikiran HAM di Indonesia telah menjadi perhatian besar dari para tokoh pergerakan bangsa dalam rangka penghormatan dan penegakkan HAM, karena itu HAM di Indonesia mempunyai akar sejarah yang sangat kuat (Dede Rosyada (dkk) dalam Noor, 2009).

2.      Periode setelah kemerdekaan (1945-sekarang)
Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih menekankan pada hak untuk merdeka (self determination), hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar negara (konstitusi) yaitu UUD 1945. Bersamaan dengan itu prinsip kedaulatan rakyat dan negara berdasarkan atas hukum dijadikan sebagai sendi bagi penyelenggaraan negara Indonesia merdeka.
Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera pada Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang antara lain menyatakan :
a.       Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya partai politik itulah dapat dipimpin kejalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.
b.      Pemerintah berharap partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota badan perwakilan rakyat pada Januari 1946.
Hal yang sangat penting dalam kaitan dengan HAM adalah adanya perubahan mendasar dan signifikan terhadap sistem pemerintahan dari sistem presidensiil (menurut UUD 1945) menjadi sistem parlementer, sebagaimana tertuang dalam Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945.

Periode 1950-1959
Periode 1950-1959 dalam perjalanan negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode demokrasi parlementer. Pemikiran HAM periode ini mendapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat dikalangan politik. Indikatornya menurut para ahli hukum tata negara ini ada lima aspek.
·         Pertama, semakin banyak tumbuh partai-partai politik dengan beragam ideologinya masing-masing.
·         Kedua, kebebasan pers sebagai slaah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya.
·         Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, adil dan demokratis.
·         Keempat, parlemen sebagai representasi kedaulatan rakyat melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif.
·         Kelima, pemikiran HAM mendapatkan iklim yang kondusif dengan tumbuhnya kekuasaan memberikan ruang kebebasan (Noor, 2009 : 246-247).

Periode 1959-1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Kekuasaan terpusat dan berada di tangan Presiden. Akibatnya Presiden melakukan tindakan inkontitusional, baik pada tataran supra struktur politik maupun dalam tataran infrastruktur politik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan hak politik seperti, hak untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan (Noor, 2009 : 247).

Periode 1966-1998
Pada periode ini diadakan seminar tentang HAM pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia.
Pada awal 1970-an samapai akhir 1980-an, HAM di Indonesia mengalami kemunduran. Pemerintah bersifat defensif dan represif. Sikap defensif tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang lahir lebih dulu dibandingkan dengan Deklarasi Universal HAM. Sikap defensif, isu HAM sering kali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Periode 1990-an tampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif ke strategi akomodatif. Sikap akomodatif terhadap tuntutan penegakkan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusian (KOMNAS HAM) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993 (Noor, 2009:248-249).

Periode 1998-sekarang
Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Demikian pula dilakukan pengkajian dan ratifikasi terhadap instrumen HAM internasional semakin ditingkatkan. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasioanal khususnya yang terkait dengan penegakkan HAM diadobsi dari hukum dan instrumen internasional dalam bidang HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui tahap status penentuan yaitu telah ditetapkannya beberapa ketentuan perundang-undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi negara (UUD 1945), Ketetapan MPR (TAP MPR), Undang-undang (UU), peraturan pemerintah dan ketentuan perundang-undangan lainnya (Dede Rosyada (dkk) dalam Noor, 2009). Pada masa sekarang ini penghormatan dan pemajuan HAM mengalami perkembangan yang signifikan, dengan dirumuskan dalam amandemen UUD 1945 dari pasal 26 sampai pasal 34, kemudian terdapat sepuluh pasal khusus tentang HAM, yaitu pasal 28A sampai dengan pasal 28J, pada amandemen yang kedua tahun 2000 (Noor, 2009 : 249-250).

F.    Aturan-aturan Tentang HAM yang Terdapat Dalam UUD 1945 yang Telah di Amandemen

1.      Hak Atas Pekerjaan dan Penghidupan Layak
·         Pasal 27
(1)   Menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
2.      Hak dan Wajib Bela Negara
·         Pasal 27
(2)   (II) Menetapkan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
3.      Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul
·         Pasal 28
Menetapkan hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, yang diatur dengan undang-undang.
a.      Kemerdekaan Memeluk Agama
·         Pasal 29
(1)   Menyatakan Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2)   Menyatakan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
b.      Pertahanan dan Keamanan Negara
·         Pasal 30
(1)   (II) Menyatakan hak dan kewajiban setiap warga negara ikut serta dalam usaha dalam pertahanan dan keamanan negara.
(2)   (II) Menyatakan usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
(3)   (II) Menjelaskan tentang Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
(4)   (II) Menyatakan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
(5)   (II) Menyatakan tentang susunan dan kedaulatan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia didalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur undang-undang.
c.       Pendidikan dan Kebudayaan
1.      Hak Mendapat Pendidikan
·         Pasal 31
(1)   (IV) Menetapkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
(2)   (IV) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayayainya.
(3)   (IV) Mewajibkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(4)   (IV) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5)   (IV) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.


2.      Kebudayaan Nasional Indonesia
·         Pasal 32
(1)   (IV) Menetapkan agar Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan menegembangkan nilai-nilai budayanya.
(2)   (IV) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
d.      Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial
1.      Perekonomian Nasional
·         Pasal 33 ayat (1), (2), dan (3)
Merupakan dasar demokrasi dan dasar sistem ekonomi Pancasila berlandaskan kebersamaan dan kekeluargaan sebagai ciri utama integralistik Indonesia, yang dirumuskan :
      Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaaan.
      Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
      Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
·         Pasal 33 ayat (4) (IV)
Menetapkan perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
·         Pasal 33 ayat (5) (IV)
Mengenai pelaksanaan pasal sebelumnya diatur dalam undang-undang.
2.      Kesejahteraan Sosial
·         Pasal 34
(1)   (IV) Yang mengatur bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
(2)   (IV) Mengatur bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3)   (IV) Menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilintas pelayanan umum yang layak.
(4)   (IV) Mengenai pelaksanaan pasal sebelumnya diatur dalam undang-undang (Noor, 2009 : 252-262).
e.       Hak Asasi Manusia dalam Bab XA UUD 1945
Hak asasi manusia khusus dalam Bab XA Amandemen yang kedua tahun 2000 Undang-undang Dasar 1945, dapat dirumuskan secara singkat sebagai suatu ikhtisar :
·         Pasal 28A (II) : Hak untuk hidup.
·         Pasal 28B (1) (II) : Hak berkeluarga.
·         Pasal 28B (2) (II) : Hak anak untuk kelangsungan hidup.
·         Pasal 28C (1) (II) : Hak mengembangkan diri.
·         Pasal 28C (2) (II) : Hak untuk memajukan diri.
·         Pasal 28D (1) (II) : Hak perlakuan sama dihadapan hukum.
·         Pasal 28D (2) (II) : Hak bekerja dan imbalanyang adil.
·         Pasal 28D (3) (II) : Hak kesempatan sama dalam pemerintahan.
·         Pasal 28D (4) (II) : Hak atas status kewarganegaraan.
·         Pasal 28E (1) (II) : Hak kebebasan memeluk agama.
·         Pasal 28E (2) (II) : Hak atas kebebasan meyakini kepercayaan.
·         Pasal 28E (3) (II) : Hak berserikat, berkumpul dan berpendapat.
·         Pasal 28F (II) : Hak berkomunikasi dan informasi.
·         Pasal 28G (1) (II) : Hak perlindungan diri dan keluarga.
·         Pasal 28G (2) (II) : Hak untuk bebas dari penyiksaan.
·         Pasal 28H (1) (II) : Hak hidup sejahtera lahir dan batin.
·         Pasal 28H (2) (II) : Hak mencapai persamaan dan keadilan.
·         Pasal 28H (3) (II) : Hak atas jaminan sosial.
·         Pasal 28H (4) (II) : Hak milik pribadi tidak boleh diambil.
·         Pasal 28I (1) (II) : Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani.
·         Pasal 28I (2) (II) : Hak bebas dari sifat diskriminatif.
·         Pasal 28I (3) (II) : Hak atas ciri khas budaya.
·         Pasal 28I (4) (II) : Hak perlindungan atas hak asasi manusia.
·         Pasal 28I (5) (II) : Hak atas menegakkan hak asasi manusia.
·         Pasal 28J (1) (II) : Hak dan wajib menghormati orang lain.
·         Pasal 28J (2) (II) : Hak dan wajib tunduk pada undang-undang.
(Noor, 2009 : 270-271).

G.  Rangkuman
Dalam Undang-undang Republik Indonesia, nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 1 disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Deklarasi HAM dari pasal 1 sampai dengan pasal 30.
Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris.
Terdapat berbagai klasifikasi yang berbeda mengenai hak asasi manusia menurut pemikiran barat, diantaranya :
d.      Pembagian hak menurut hak materiil yang termasuk didalamnya : hak keamanan, kehormatan dan pemilihan serta tempat tinggal dan hak moril, yang termasuk didalamnya : hak beragama, hak sosial dan berserikat.
e.       Pembagian hak menjadi tiga : hak kebebasan kehidupan pribadi, hak kebebasan kehidupan rohani dan hak kebebasan membentuk perkumpulan dan perserikatan.
f.       Pembagian hak menjadi dua : kebebasan negatif yang membentuk ikatan-ikatan terhadap negara untuk kepentingan warga, kebebasan positif yang meliputi pelayanan negara kepada warganya.
Nabi Muhammad S.A.W telah mengadakan berbagai tindakan sebagaimana telah ditetapkan dalam Al-Qur’an yang menghendaki terwujudnya pelaksanaan hak-hak asasi manusia. Selain itu, beliau telah memproklamasikan kesucian hak-hak asasi manusia ini untuk segala zaman ketika berkhutbah di depan kaum muslim pada waktu haji wada’ (perpisahan).
Perkembangan HAM di indonesia dari periode sebelum kemerdekaan sampai masa sekarang mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Aturan tentang HAM terdapat dalam UUD 1945 dari pasal 27 sampai pasal 34. Hak asasi manusia khusus dalam Bab XA Amandemen yang kedua tahun 2000 Undang-undang Dasar 1945, pasal 28A sampai 28J.


H.  Latihan Soal !
1.      Hak Asasi Manusia adalah seperangakat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Pengertian hak asasi manusia di atas, tercantum dalam UU Republik Indonesia nomor.....
a.       36 tahun 1999
b.      37 tahun 1999
c.       38 tahun 1999
d.      39 tahun 1999
Jawaban : d
2.      Berikut ini merupakan The Four Freedoms dari presiden Roosevelt, kecuali.....
a.       Hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat
b.      Hak kebebasan memeluk agama
c.       Hak kebebasan dari penyiksaan
d.      Hak kebebasan dari ketakutan
Jawaban : c
3.      Pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun....di Inggris.
a.       1215                                                                c. 1512
b.      1125                                                                d. 1251
Jawaban : a
4.      Deklarasi Universal Hak-hak Manusia diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB nomor 217A (III) pada tanggal.....
a.       09 Desember 1948
b.      10 Desember 1948
c.       11 Desember 1948
d.      12 Desember 1948
Jawaban : b
5.      Pembagian hak menurut hak materiil yang termasuk didalamnya....
a.       Hak kebebasan kehidupan pribadi
b.      Hak kebebasan membentuk perkumpulan dan perserikatan
c.       Hak kebebasan kehidupan rohani
d.      Hak keamanan, kehormatan dan pemilihan serta tempat tinggal dan hak moril
Jawaban : d
6.      Berikut ini yang merupakan Deklarasi HAM Islam Sedunia, kecuali....
a.       Hak hidup
b.      Hak kemerdekaan
c.       Hak kebebasan beragama
d.      Hak-hak mayoritas
Jawaban : d
7.      Perkembangan HAM di Indonesia, pada periode 1950-1959 dalam perjalanan negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode....
a.       Demokrasi parlementer
b.      Demokrasi pancasila
c.       Demokrasi terpimpin
d.      Demokrasi liberal
Jawaban : a
8.      Pada periode berapa sampai berapa HAM di Indonesia mengalami kemunduran...?
a.       1945-1950
b.      1950-1959
c.       1966-1998
d.      1998-sekarang
Jawaban : c
9.      Menetapkan hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, yang diatur dengan undang-undang.
Aturan HAM di atas terdapat pada....
a.       Pasal 27
b.      Pasal 28
c.       Pasal 29
d.      Pasal 30
Jawaban : b
10.  Aturan tentang HAM yang menetapkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, terdapat pada pasal....ayat....
a.       31 ayat (1) (IV)
b.      31 ayat (2) (IV)
c.       31 ayat (3) (IV)
d.      31 ayat (4) (IV)
Jawaban : a



Daftar Pustaka

Achmad, Arief. 2005. “HAK ASASI MANUSIA MENURUT ISLAM” (online), (http://re-searchengines.com/0805arief4.html, diakses tanggal 16 Agustus 2005).
Kariada, Imade. 2008. “Sejarah Hak Asasi Manusia” (online), (http://imadekarida.blogspot.com/2008/08/sejarah-hak-asasi-manusia.html, diakses tanggal 08 Agustus 2008).
Ms Bakry, Noor. 2009. PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Yogyakarta : PUSTAKA PELAJAR.

A. Model-model Pengembangan Kurikulum

A.  Model-model Pengembangan Kurikulum


1.    Model Administratif ( Dari atas ke bawah )

Langkah-langkah :

a.    Atasan membentuk tim, terdiri atas para pejabat teras yang berwenang.
b.    Tim merencanakan konsep rumusan tujuan umum dan rumusan falsafah yang diikuti.
c.    Dibentuk beberapa kelompok kerja.
d.    Hasil kerja dari butir 3 direvisi atas dasar pengalaman atau hasil dari try out.
e.    Setelah try out, kurikulum tersebut diimplementasikan.

2.  Model dari bawah ( Grass-Roots )

Langkah-langkah :

a.    Inisiatif pengembangan datangnya dari bawah.
b.    Tim pengajar dari beberapa sekolah ditambah narasumber lain.
c.    Atasan memberikan bimbingan dan dorongan.
d.    Untuk pemantapan, diadakan lokakarya.

3.  Model  Demonstrasi

Langkah-langkah :

a.    Staf pengajar sekolah menemukan ide, dan hasilnya dinilai baik.
b.    Kemudian hasilnya disebarluaskan di sekolah sekitar.


4.  Model Beauchamp

Langkah-langkah :

a.    Gagasan pengembangan kurikulum yang telah dilaksanakan di kelas, diperluas di sekolah, disebarluaskan di sekolah-sekolah baik berskala regional maupun rasional disebut arena.
b.    Membentuk tim pengembang.
c.    Tim menyusun tujuan pengajaran, materi, dan pelaksanaan proses belajar mengajar.
d.    Melaksanakan kurikulum di sekolah.
e.    Mengevaluasi kurikulum yang berlaku.

5.  Model Terbalik Hilda Taba

Langkah-langkah :

a.    Mendiagnosis kebutuhan, merumuskan tujuan, menentukan materi, menentukan penilaian, memperhatikan antara luas dan dalamnya bahan, kemudian disusunlah suatu unit kurikulum.
b.    Mengadakan try out.
c.    Merevisi atas dasar try out.
d.    Menyusun kerangka kerja.
e.    Mengemukakan adanya kurikulum baru yang akan didesiminasikan.

6.  Model Hubungan Interpersonal Rogers

Langkah-langkah :

a.    Diadakan kelompok.
b.    Kurang lebih satu minggu, peserta saling tukar pengalaman.
c.    Diadakan pertemuan dengan masyarakat yang luas, dalam satu sekolah.
d.    Diadakan pertemuan dengan anggota yang lebih luas, yaitu pegawai administrasi dan orang tua peserta didik.
7.  Model Action Research yang Sistematis

Langkah-langkah :

a.    Problem proses belajar mengajar di sekolah yang perlu diteliti.
b.    Mencari sebab terjadinya problem dan dicari pemecahannya.
c.    Melaksanakan putusan yang telah diambil

MERESUM FIKSI

BAB 1
FIKSI: SEBUAH TEKS PROSA NARATIF

1.      FIKSI : PENGERTIAN DAN HAKIKAT

Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discource). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan ataupun cerita khayalan. Hal ini disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah (Abrams, 1981:61). Karya fiksi merupakan suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh, sehingga fiksi itu tidak perlu dicari kebenarannya dalam dunia nyata.
Fiksi menurut Altenbernd dan Lewis (1966:14), dapat diartikan sebagai “prosa” naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia. Fiksi juga menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Namun, perlu juga dicatat bahwa dalam dunia kesastraan terdapat suatu bentuk karya sastra yang mendasarkan diri pada fakta. Karya sastra yang demikian, oleh Abrams (1981:61) disebut sebagai fiksi historis (historical fiction), sedangkan yang menjadi dasar penulisan fakta sejarah disebut juga fiksi biografis (biographical fiction) serta apabila yang menjadi dasr penulisan fakta biografis dan fiksi sains (science fiction) termasuk dasar penulisan fakta ilmu pengetahuan. Ketiga jenis karya fiksi tersebut dikenal dengan sebutan fiksi nonfiksi (nonfiction fiction).
Kebenaran fiksi, ada perbedaan antara kebenaran dalam dunia fiksi dengan kebenaran di dunia nyata. Kebenaran dalam dunia fiksi adalah kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang, kebenaran yang telah diyakini “keabsahannya” sesuai dengan pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan. Sehingga kebenaran dalam dunia fiksi tidak harus sejalan dengan kebenaran yang berlaku di dunia nyata.
Wellek dan Warren (1989 : 278-9) mengemukakan bahwa realitas dalam karya fiksi merupakan ilusi kenyataan dan kesan yang menyakinkan yang ditampilkan, namun tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari.


2.      PEMBEDAAN FIKSI
a.      Novel dan Cerita Pendek. Novel (Inggris: novel) dan cerita pendek (disingkat cerpen dalam bahasa Inggris: short story) merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Istilah novel dalam bahasa Italia novella, secara harfiah berarti sebagai sebuah cerita pendek dalam bentuk prosa (Abrams. 1981:119). Perbedaan antara novel dengan cerpen yang pertama, dapat dilihat dari segi formalitas bentuk, dan segi panjang cerita.
b.      Novel Serius dan Novel Populer. Novel serius tidak bersifat mengabdi kepada selera pembaca dan pembaca novel jenis ini tidak banyak, sedangkan Novel populer lebih mengejar selera pembaca dan tidak menceritakan sesuatu yang bersifat serius.

3.      UNSUR-UNSUR FIKSI
a.       Intrinsik dan Ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, meliputi: peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa dan lain-lain. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung membangun karya sastra, meliputi: biografi pengarang, psikologi pengarang, psikologi pembaca dan keadaan lingkungan pengarang.
b.      Fakta, Tema, Sarana Cerita. Fakta (facts) dalam sebuah cerita meliputi karakter atau tokoh cerita, plot, dan setting. Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita dan selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan. Sarana cerita atau sarana pengucapan sastra adalah teknik yang dipergunakan oleh pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang bermakna.
c.       Cerita dan Wacana. Cerita merupakan isi dari ekspresi naratif, dan apa yang ingin dilukiskan dalam teks naratif. Wacana merupakan bentuk dari sesuatu (cerita atau isi) yang diekspresikan serta bagaimana cara melukiskannya.






BAB 2
KAJIAN FIKSI

1.      HAKIKAT KAJIAN FIKSI
Pengkajian terhadap karya fiksi berarti penelaahan, penyelidikan atau mengkaji, menelaah, menyelidiki karya fiksi tersebut. Pada umumnya kegiatan ini disertai dengan kerja analisis yaitu mengurai karya itu atas unsur – unsur intrinsiknya. Tujuan utama kerja analisis kesastraan, fiksi, puisi, atau yang lain adalah untuk dapat memahami secara lebih baik karya sastra yang bersangkutan dan membantu memperjelas pembaca yang kurang dapat memahami karya sastra. Dalam rangka memahami dan mengungkap sesuatu yang terdapat dalam karya sastra dikenal adanya istilah heuristic dan hermeneutic. Hubungan keduanya dapat dipandang sebagai hubungan yang bersifat gradasi, sebab kegiatan pembacaan atau kerja hermeneutic haruslah didahului oleh pembacaan heuristic. Kerja heuristic berupa pemahaman makna sebagaimana yang dikonvensikan oleh bahasa yang bersangkutan. Kerja ini menghasilkan pemahaman makna secara harfiah, makna tersurat, atau actual meaning. Sedangkan kerja hermeneutic berupa pemahaman berdasarkan makna dari hasil kerja heuristic. Usaha mengkaji karya sastra pada hakikatnya memiliki kesamaan tujuan, yaitu memahami secara lebih baik karya sastra. Dalam kajian kesastraan, dikenal adanya analisis sruktural dan semiotik. Yang pertama menekankan pada adanya fungsi dan hubungan antarunsur dalam sebuah karya, sedangkan yang kedua pada pemaknaan karya itu yang dipandangnya sebagai sebuah sistem tanda.
2.      KAJIAN STRUKTURAL
Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha. Selain struktural, ada juga istilah strukturalisme, yaitu dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antar unsur pembangun karya yang bersangkutan. Analisis struktural karya sastra, dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendiskrisikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan.

3.      KAJIAN SEMIOTIK
Berasal dari teori Saussure, bahasa merupakan sebuah emiot tanda dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaaan, gagasan, dan lain-lain. Teori semiotic bersifat multidisiplin, dapat diterapkan pada linguistik, seni, sastra, film, filsafat, antropologi, arkeologi, arsitektur, dan lain-lain. Perkembangan teori semiotic hingga dewasa ini dapat dibedakan ke dalam dua jenis semiotic, yaitu semiotic komunikasi dan semiotic signifikasi. Semiotik komunikasi menekankan pada teori produksi tanda, sedangkan signifikasi menekankan pemahaman dan pemberian makna suatu tanda.
a.      Teori semiotik Peirce. Teori ini mengatakan bahwa sesuatu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda yang disebutnya representamen haruslah mengacu sesuatu yang disebutnya sebagai objek. Proses pewakilan tanda terhadap acuannya terjadi pada saat tanda itu ditafsirkan dalam hubungannya dengan yang diwakili, disebut interpretant. Proses pewakilan disebut semiosis, yaitu suatu proses dimana suatu tanda berfungsi sebagai tanda yang mewakili sesuatu yang ditandainya. Proses membedakan hubungan antar tanda dengan acuannya kedalam tiga jenis hubungan, yaitu ikon jika berupa hubungan kemiripan, indeks jika ia berupa hubungan kesepakatan eksitensi, dan simbol, jika ia berupa hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi. Ikon ada tiga macam, yaitu ikon topologis, diagramatik, dan metaforis.
b.      Teori Semiotik Saussure. Bahasa sebagai sistem tanda menurut Saussure memiliki dua unsur, yaitu signifier dan signified, significant dan signifie, atau penanda dan petanda. Wujud penanda dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan, sedangkan petanda adalah unsur konseptual, gagasan, atau makna yang terkandung dalam penanda tersebut. Ada hubungan yang bersifat linear yang disebut hubungan sintagmatik, dan hubungan yang bersifat aspsiatif yang disebut hubungan paradigmatik. Ada juga hubungan in praesentia, yaitu hubungan antar unsur-unsur yang hadir secara bersama. Tiap satuan cerita disebut sekuen. Satuan cerita mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi utama adalah menentukan jalan cerita, sedangkan fungsi katalisator adalah menghubungkan fungsi – fungsi uatama itu. Hubungan sintagmatik dan paradigmatik dapat dikaitkan dengan kajian dari aspek waktu. Ada dua tataran waktu dalam teks fiksi, yaitu waktu dari dunia yang digambarkan, tataran peristiwa dan waktu dari wacana yang menggambarkan, tataran penceritaan. Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang kemudian disebut hipogram atau dapat disebut juga latar, yaitu dasar.

4.      KAJIAN INTERTEKSTUAL
Kajian ini dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik. Prinsip intertekstual yang uatama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Adanya hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi, pembacalah yang menentukan ada atau tidaknya kaitan antara teks yang satu dengan teks yang lain.
5.      DEKONSTRUKSI
Pada hakikatnya adalah suatu cara membaca sebuah teks yang menumbangkan anggapan bahwa sebuah teks itu memiliki landasan, dalam sistem bahasa yang berlaku, untuk menegaskan struktur, keutuhan, dan makna yang menentu. Paham dekonstruksi mula-mula dikembangkan oleh seorang filosof Perancis, Jacques Derrida, dan kemudian dilanjutkan oleh tokoh – tokoh seperti Paul de man, j.Hillis Miller, dan bahkan juga Levy-Strauss. Pendekatan dekonstruksi dapat diterapkan dalam pembacaan karya sastra dan karya filsafat.

BAB  3
TEMA
1.        HAKIKAT TEMA

Tema (theme), menurut Stanton (1965: 20) dan Kenny (1966: 88), adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Untuk menentukan makna pokok sebuah novel, kita perlu memiliki kejelasan pengertian tentang makna pokok, atau tema, itu sendiri. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra yang terkandung di dalam teks sebagai struktur  semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko & Rahmanto, 1986: 142).
Pertimbangan pengertian tema utama didasarkan pada pengertian tema menurut Stanton (1965: 21), yaitu yang mengartikan tema sebagai “makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana”. Tema menurutnya, kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose).

2.      TEMA : MENGANGKAT MASALAH KEHIDUPAN
Novel dapat dipandang sebagai hasil,dialog, mengangkat dan mengungkapkan kembali berbagai permasalahan hidup dan kehidupan tersebut setelah melewati penghayatan yang intens, seleksi subjektif, dan diolah dengan daya imajinatif-kreatif oleh pengarang, ke dalam bentuk dunia rekaan.

3.      TEMA DAN UNSUR CERITA YANG LAIN
Tema dalam sebuah karya sastra, fiksi, hanyalah merupakan salah satu dari sejumlah unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah kemenyeluruhan. Tema sebuah cerita disampaikan secara implisit melalui cerita. Unsur-unsur cerita yang lain, khususnya yang oleh Stanton dikelompokkan sebagai fakta cerita-tokoh, plot, latar--yang “bertugas” mendukung dan menyampaikan tema tersebut.

4.      PENGGOLONGAN TEMA
Penggolongan tema berdasarkan tiga sudut pandang :
a.    Tema Tradisional dan Non Tradisional. Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama. Pernyataan-pernyataan tema yang dapat dipandang sebagai bersifat tradisional itu, misalnya berbunyi : (i) kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan, (ii) tindak kebenaran atau kejahatan masing-masing akan memetik hasilnya (Jawa: becik ketitik ala ketara), dan sebagainya. Tema-tema tradisional, walau banyak variasinya, boleh dikatakan, selalu ada kaitannya dengan masalah kebenaran dan kejahatan (Meredith & Fitzgerald, 1972 : 66).
b.    Tingkatan Tema Menurut Shipley. Shipley dalam Dictionary of World Literature (1962 : 417), mengartikan tema sebagi subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan kedalam cerita. Shipley membedakan tema-tema karya kedalam tingkatan-tingkatan semuanya ada lima tingkatan berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa, yang disusun dari tingkatan yang paling sederhana, tingkatan tumbuhan dan makhluk hidup, ke tingkat yang paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh manusia. Kelima tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) molekul, man as molecul.
Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) protoplasma, man as protoplasm.
Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socius.
Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as individualism.
Kelima, tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang belum setiap manusia mengalami atau mencapai masalahnya.
c.       Tema Utama dan Tema Tambahan. Tema pada hakikatnya merupakan makna yang dikandung cerita, atau makna cerita. Hal inilah yang menyebabkan tidak mudah untuk menentukan tema pokok cerita atau tema mayor (makna pokok yang cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu). Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar, untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan, cerita, bukan makna yang hanya terdapat pada bagian tertentu saja. Makna yang hanya terdapat pada bagian tertentu dapat diidentifikasi sebagai makna bagian, makna tambahan. Makna tambahan ini yang disebut sebagai tama tambahan atau tema minor.

5.      PENAFSIRAN TEMA
Dalam usaha menemukan dan menafsirkan sebuah tema sebuah novel secara lebih khusus dan rinci, Stanton (1965: 22-3) mengemukakan adanya sejumlah kriteria yang dapat diikuti seperti ditunjukkan berikut. Pertama, penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detail cerita yang menonjol. Kedua, penafsiran sebuah tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detail cerita. Ketiga, penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tak langsung dalam novel yang bersangkutan. Keempat, penafsiran  tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan dalam cerita

BAB 4
CERITA

1.      HAKIKAT CERITA

Forster (1970 : 35) mengartikan cerita sebagai sebuah narasi berbagai kejadian yang sengaja disusun berdasarkan urutan waktu.
Abrams (1981 : 61) juga memberikan pengertian cerita sebagai sebuahurutan kejadian yang sederhana dalam urutan waktu dan Kenny (1966 : 12) mengartikannya sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi berdasarkan urutan waktu yang disajikan dalam sebuah karya fiksi.
Cerita pada hakikatnya merupakan pembeberan dan atau pengurutan gagasan lakuan dan atribut tersebut yang mempunyai urutan awal, tengah dan akhir.
Fabel merupakan urutan secara temporal-klausa material atau sesuatu yang diceritakan, merupakan keseluruhan motif, merupakan abstraksi dari “bahan mentah” fiksi yang dapat berupa pengalaman pengarang, bacaan dan lain-lain. Sujet merupakan cara penyajian motif-motif itu sedemikian rupa untuk mendapatkan efek estetis, struktur penceritaan atau penyampaian bahan-bahan itu lewat sudut pandang, fokus narasi atau merupakan abstraksi fabel, pemfokusan visi naratif secara lebih tajam (Wellek & Warren, 1989 : 286-287).

2.      CERITA DAN PLOT
Cerita sekedar mempertanyakan apa dan atau bagaimana kelanjutan peristiwa, sedang plot lebih menekankan permasalahannya pada hubungan kausalitas, kelogisan hubungan antarperistiwa yang dikisahkan dalam karya naratif yang bersangkutan. Kedua hal inilah yang menurut Forster (1970 : 94) merupakan perbedaan fundamental antara cerita dengan plot tersebut.
Forster (1970 : 34, 94) plot merupakan sesuatu yang lebih tinggi dan kompleks daripada cerita. Cerita lebih lebih identik dengan fabel, sedang plot adalah sujet itu.



3.      CERITA DAN POKOK PERMASALAHANNYA
Pokok permasalahan (subject matter) merupakan suatu hal yang diangkat ke dalam cerita sebuah karya fiksi.
Isi cerita adalah sesuatu yang dikisahkan dalam sebuah karya fiksi. Pokok permasalahan merupakan sesuatu yang diacu atau berkaitan dengan isi cerita.

4.      CERITA DAN FAKTA
Tulisan dengan data faktual. Tulisan yang dibuat berdasarkan data atau informasi faktual, maisalnya tulisan berita.
Dialog fakta dan fiksi. Fiksi tidak saja mampu merekam sejarah—dalam arti bersifat dokumentatif-sosiologis dan monumental, inilah yang menandai keberhasilan sebuah karya fiksi sebagai karya seni kesusastraan.
Unsur realitas dan imajinasi. Karangan yang mengandung unsur imajinasi, sebenarnya bukan hanya monopoli karya fiksi yang sering disebut sebagai karya imajinatif.

BAB 5
PEMPLOTAN

1.      HAKIKAT PLOT DAN PEMPLOTAN
Pengertian Plot dan Pemplotan. Stanton (1965 : 14) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Kenny (1966 : 14) mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Forster (1970 (1927) : 93) plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas. Abrams (1981 : 137) mengemukakan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu.
Plot : Misterius Intelektual. Plot sebuah karya fiksi, menurut Forster (1970 : 94-95), memiliki sifat misterius dan intelektual. Oleh kerena plot bersifat misterius, untuk memehaminya diperlukan kemampuan intelektual.

2.      PERISTIWA, KONFLIK DAN KLIMAKS
a.      Peristiwa
Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang lain (Luxemburg dkk, 1992 : 150).
Peristiwa Fungsional, Kaitan, Acuan. Peristiwa fungsional adalah peristiwa-peristiwa yang menentukan dan atau mempengaruhi perkembangan plot. Peristiwa kaitan adalah peristiwa-peristiwa yang berfungsi mengaitkan peristiwa-peristiwa penting dalam pengurutan penyajian cerita. Peristiwa acuan adalah peristiwa yang tidak secara langsung berpengaruh dan atau berhubungan dengan perkembangan plot, melainkan mengacu pada unsur-unsur lain, misalnya berhubungan dengan masalah perwatakan atau suasana yang melingkupi batin seorang tokoh (Luxemburg, 1984 : 150-1).
Kernel dan Satelit. Chatman (1980 : 53) menyebut peristiwa utama sebagai kernel (kernels), sedang peristiwa pelengkap sebagai satelit (satelits).
b.      Konflik
Konflik (conflict), yang notabene adalah kejadian yang tergolong penting (jadi, ia akan berupa peristiwa fungsional, utama, atau kernel) merupakan unsur yang esensial dalam pengembangan plot.
Konflik menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh (-tokoh) itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya (Meredith & Fitzgerald, 1972 : 27).
Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan (Wellek & Warren, 1989 : 285).
Bentuk konflik dibedakan dalam dua kategori : konflik fisik dan konflik batin, konflik eksternal dan konflik internal (Stanton, 1965 : 16). Konflik eksternal dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konflik fisik dan konflik sosial (Jones, 1986 : 30).
c.       Klimaks
Stanton (1965 : 16) klimaks adalah saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari kejadiannya.

3.      KAIDAH PEMPLOTAN
a.      Plausibilitas
Plausibilitas menyaran pada pengertian suatu hal yang dapat dipercaya sesuai dengan logika cerita.
Sebuah cerita dikatakan memiliki sifat plausibel jika tokoh-tokoh cerita dan dunianya dapat diimajinasi (imaginable) dan jika para tokoh dan dunianya tersebut serta peristiwa-peristiwa yang dikemukakan mungkin saja dapat terjadi (Stanton, 1965 : 13).
b.      Suspense
Suspense menyaran pada adanya perasaan semacam kurang pasti terhadap peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, khususnya yang menimpa tokoh yang diberi rasa simpati oleh pembaca (Abrams, 1981 :138).
Foreshadowing merupakan penampilan peristiwa (-peristiwa) tertentu yang bersifat mendahului—namun biasnya ditampilkan secara tidak langsung—terhadap peristiwa (-peristiwa) penting yang akan dikemukakan kemudian.
c.       Surprise
Surprise diartikan kejutan, sesuatu yang bersifat mengejutkan.
d.      Kesatupaduan
Kesatupaduan menyaran pada pengertian bahwa berbagai unsur yang ditampilkan, khususnya peristiwa-peristiwa fungsional, kaitan dan acuan yang mengandung konflik atau sebuah pengalaman kehidupan yang hendak dikomunikasikan, memiliki keterkaitan satu dengan yang lain.

4.      PENAHAPAN PLOT
a.        Tahapan Plot : Awal-Tengah-Akhir
Tahap awal sebuah cerita biasanya sebagai tahap perkenalan. Tahap tengah disebut juga tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan.
b.      Tahapan Plot : Rincian Lain
(1)   Tahap situation : tahap penyituasian tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita.a
(2)   Tahap generating circumstances : tahap pemunculan konflik, masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan.
(3)   Tahap rising action : tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya.
(4)   Tahap climax : tahap klimaks, konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak.
(5)   Tahap denouement : tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan.
c.       Diagram Struktur Plot
Tahap pemplotan di atas dapat juga digambarkan dalam bentuk gambar (diagram). Diagram struktur yang dimaksud biasanya, didasarkan pada urutan kejadian dan atau konflik secara kronologis. Jadi, diagram itu sebenarnya lebih menggambarkan struktur plot jenis progresif-konvensional-teoritis.

5.      PEMBEDAAN PLOT
a.      Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu.
Urutan waktu yang dimaksud adalah waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi yang bersangkutan. Secara teoritis dapat membedakan plot ke dalam dua kategori : kronologis (plot lurus, maju) dan tak kronologis (sorot-balik, mundur, flash back).
Plot lurus, progresif. Plot sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh (atau: menyebabkan terjadinya) peristiwa-peristiwa yang kemudian.
Plot sorot-balik, flash back. Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita segala logika), melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan.
Plot campuran. Barangkali tidak ada novel yang secara mutlak berplot lurus-kronologis atau sebaliknya sorot-balik.

b.      Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Jumlah
Plot tungal. Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya hanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis yang sebagai hero.
Plot Sub-subplot. Sebuah karya fiksi dapat saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan dan konflik yang dihadapinya.
c.       Perbedaan Plot Berdasarkan Kriteria Kepadatan
Plot padat. Disamping cerita disajikan secara cepat, peristiwa-peristiwa fungsional terjadi susul-menyusul dengan cepat, hubungan antarperistiwa juga terjalin secara erat dan pembaca seolah-olah selalu dipaksa untuk terus-menerus mengikutinya.
Plot longgar. Pergantian peristiwa demi peristiwa penting berlangsung lambat, artinya antara peristiwa penting yang satu dengan yang lain diselai oleh berbagai peristiwa “tambahan”.
Degresi adalah penyimpangan dari tema pokok sekedar untuk mempercantik cerita dengan unsur-unsur yang tidak langsung berkaitan dengan tema (Hartoko & Rahmanto, 1986 : 33).
d.      Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Isi
Friedman (dalam Stevick, 1967 : 157 : 65) membedakan plot jenis ini ke dalam tiga golongan besar, yaitu plot peruntungan (plot of fortune), plot tokohan (plot of character), dan plot pemikiran (plot of thought).
Plot peruntungan. Plot peruntungan berhubungan dengan cerita yang mengungkapkan nasib, peruntungan yang menimpa tokoh (utama) cerita yang bersangkutan. Plot peruntungan dibedakan menjadi : (a) plot gerak (action plot), (b) plot sedih (pathetic plot), (c) plot tragis (tragic plot), (d) plot penghukuman (punitive plot), (e) plot sentimental (sentimental plot), dan (f) plot kekaguman (admiraton plot).
Plot tokohan. Plot tokohan menyaran pada adanya sifat pementingan tokoh, tokoh yang menjadi fokus perhatian. Plot tokohan dibedakan ke dalam (a) plot pendewasaan (maturing plot), (b) plot pembentukan (reform plot), (c) plot pengujian (testing plot), dan (d) plot kemunduran (degenration plot).
Plot pemikiran. Plot pemikiran mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan, berbagai macam obsesi dan lain-lain hal yang menjadi masalah hidup dan kehidupan manusia. Friedman membedakan plot pemikiran ke dalam (a) plot pendidikan (education plot), (b) plot pembukaan rahasia (revelation plot), (c) plotafektif (affektive plot), dan (d) plot kekecewaan (disillusionment plot).

BAB 6
PENOKOHAN

1.      UNSUR PENOKOHAN DALAM FIKSI
Kejelasan mengenai tokoh dan penokohan dalam banyak hal tergantung pada pemplotannya.
a.         Pengertian dan hakikat penokohan. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh cerita atau character adalah orang – orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Kewajaran fiksi adalah suatu bentuk karya kreatif maka bagaimana pengarang mewujudkan dan mengembangkan tokoh – tokoh ceritanya pun tidak lepas dari kebebasan kreativitasnya. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada penmbaca. Tokoh cerita hendaknya bersifat alami, memiliki sifat lifelikeness, kesepertihidupan. Tokoh – tokoh cerita yang ditampilkan dalam fiksi, sesuai namanya adalah tokoh rekaan. Tokoh – tokoh sejarah tertentu, tokoh manusia nyata, bukan rekaan pengarang adalah tokoh nyata.
b.   Penokohan dan unsur cerita yang lain. Fiksi merupakan sebuah keseluruhan yang utuh dan memiliki ciri artistik. Plot adalah sesuatu bentuk pengalaman. Penokohan dan pemplotan merupakan dua fakta cerita yang saling mempengaruhi dan menguntungkan satu dengan yang lain. Plot adalah apa yang dilakukan tokoh dan apa yang menimpanya. Jatidiri seorang tokoh ditentukan oleh peristiwa – peristiwa yang menyertainya, begitu pula sebaliknya. Penokohan dengan tema, tokoh – tokoh cerita merupakan pelaku penyampai tema.
c.    Relevansi tokoh. Relevansi tokoh dan penokohan harus dilihat dalam kaitannya dalam berbagai unsur yang lain dan peranannya dalam cerita secara keseluruhan.

1.      PEMBEDAAN TOKOH
a.      Tokoh utama dan tokoh tambahan
Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita, sedangkan tokoh kedua dalah tokoh tambahan. Tokoh utama  diutamakan dalam penceritaannya.
b.        Tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero- tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita, sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik.
c.         Tokoh tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana dalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat, watak yang tertentu saja. Tokoh bulat adalah tokoh yang memilki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadiannya dan jatidirinya. Perbedaan antara sederhana dan kompleks itu lebih bersifat penggradasian, berdasarkan kompleksitas watak yang dimiliki para tokoh. Fungsi tokoh sederhana dapat menambah tingkat intensitas kekompleksan tokoh lain yang memang dipersiapkan sebagi tokoh bulat.
d.        Tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot yang dikisahkan.
e.         Tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri.

2.        TEKNIK PELUKISAN TOKOH
Secara garis besar teknik pelukisan tokoh yaitu pelukisan sifat, sikap, watak, tingkah lau. berbagai hal lain yang berhubungan dengan jatidiri dibedakan dalam dua teknik, yaitu teknik ekspositori atau secara langsung, dan teknik dramatik atau secara tidak langsung.
a.       Teknik ekspositori adalah pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Teknik pelukisan ini bersifat sederhana dan cenderung ekonomis.
b.      Teknik dramatik adalah mirip yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tak  langsung, artinya pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Dalam teknik dramatik dapat dilihat melalui teknik cakapan. Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Teknik tingkah laku, jika teknik cakapan dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku verbal yang berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal, fisik. Teknik pikiran dan perasaan, keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, yang sering dipikir dan dirasakan oleh tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kesendiriannya jua. Teknik arus kesadaran, berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Teknik reaksi tokoh, dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap atau tingkah laku orang lain, dan sebagainya yang berupa rangsang dari luar diri tokoh yang bersangkutan. Teknik reaksi tokoh lain, dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. Teknik pelukisan latar, pelukisan suasana latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain. Teknik pelukisan fisik, berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu.
c.       Catatan tentang identifikasi tokoh. Unsur pengidentifikasian tokoh, yaitu prinsip pengulangan adalah tokoh cerita yang belum kita kenal, akan menjadi kenal dan akrab jika kita dapat menemukan dan mengidentifikasai adanya kesamaan sifat, sikap, watak, dan tingkah laku ada bagian – bagian selanjutnya. Prinsip pengumpulan adalah seluruh kedirian tokoh diungkapkan sedikit demi sedikit dalam seluruh ceriita. Pinsip kemiripan dan pertentangan adalah dengan membandingkan antar seorang tokoh dengan tokoh lain dari cerita fiksi yang bersangkutan.



BAB 7
PELATARAN

1.      LATAR SEBAGAI UNSUR FIKSI
a.      Pengertian dan Hakikat Latar. Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams,1981:175). Latar dibedakan menjadi dua yaitu latar fisik dan latar spiritual. Latar fisik adalah latar tempat, yang berhubungan secara jelas menyaran pada lokasi tertentu, sedangkan latar spiritual adalah latar dalam karya fiksi tidak terbatas pada penempatan lokasi-lokasi tertentu, atau sesuatu yang bersifat fisik saja, melainkan juga yang berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutanjadi latar spiritual itu nilai-nilai yang melingkupi dan dimiliki oleh latar fisik.
b.      Latar Netral dan Latar Tipikal. Latar netral adalah latar sebuah karya yang hanya bersifat demikian. Latar tipikal adalah latar yang memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik yang menyangkut unsur tempat, waktu, maupun sosial.
c.       Penekanan Unsur Latar. Latar netral menyaran pada kurangnya pendekatan unsur latar, sebaliknya latar tipikal pada adanya penekanan unsur latar. Sehingga unsur latar yang ditekankan perannya dalam sebuah novel, langsung ataupun tidak langsung, akan berpengaruh terhadap elemen fiksi yang lain, khususnya alur dan tokoh. Jika elemen tempat mendapat penekanan dalam sebuah novel, makan akan dilengkapi dengan sifat khas keadaan geografis setempat yang mencirikannya.
d.      Latar dan Unsur Fiksi yang Lain. Latar sebuah karya sastra hanya berupa penyebutan tempat, waktu, dan hubungan sosial tertentu secara umum, artinya bersifat netral, dan tak banyak berperan dalam pengembangan cerita secara keseluruhan serta kurang berpengaruh terhadap unsur-unsur fiksi yang lain, khususnya alur dan tokoh.

2.      UNSUR LATAR
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial.
a.       Latar Tempat. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
b.      Latar waktu. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
c.       Latar sosial. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
d.      Catatan tentang Anakronisme. Anakronisme menyaran pada pengertian adanya ketidaksesuaian dengan urutan (perkembangan) waktu dalam sebuah cerita. Waktu yang dimaksud adalah waktu cerita dan waktu sejarah. Penyebab anakronisme mungkin berupa masuknya “waktu” lampau ke dalam cerita yang berlatar waktu kini atau sebaliknya “waktu” kini kedalam cerita yang berlatar “waktu” lampau.

3.      HAL LAIN TENTANG LATAR
Latar dilihat dari sisi fungsi yang lain dan lebih menyaran pada fungsi latar sebagai pembangkit tanggapan atau suasana tertentu dalam cerita, fungsi latar yang dimaksud adalah fungsi latar sebagai metafora dan latar sebagai atmosfir.
a.       Latar sebagai metaforik. Penggunaan istilah metafora menyaran pada suatu pembandingan yang mungkin berupa sifat keadaan, suasana, ataupun sesuatu yang lain. Metafora erat berkaitan dengan pengalaman kehidupan manusia baik bersifat fisik maupun budaya (Lakoff & Johnson, 1980:18).
b.      Latar sebagai atmosfer. Atmosfer dalam cerita merupakan “udara yang dihirup pembaca sewaktu memasuki dunia rekaan”. Serta berupa deskripsi kondisi latar yang mampu menciptakan suasana tertentu, misalnya suasana ceria, romantis, sedih, muram, maut, misteri dan sebagainya. Latar yang memberikan atmosfer cerita biasanya berupa latar penyituasian yang mampu menarik pembaca ke dalam cerita, sehingga membuat pembaca terlibat secara emosional.


BAB 8
PENYUDUTPANDANGAN

Sudut pandang,  point of view, viewpoint, merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh staton digolongkan sebagai sarana cerita.



1.      SUDUT PANDANG SEBAGAI UNSUR FIKSI
a.      Hakikat sudut pandang. Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa yang menceritakan, atau dari posisi mana peristiwa atau tindakan itu dilihat. Pengertian sekitar sudut pandang, menyaran para sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa, yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams, 1981 : 142). Dengan demikian, sudut pandang  pada hakekatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.
b.      Pentingnya sudut pandang. Sudut pandang  dianggap sebagai salah satu unsur fiksi yang penting dan menentukan. Penggunaan sudut pandang aku ataupun dia, yang biasanya juga berarti tokoh aku atau tokoh dia, dalam karya fiksi adalah untuk memerankan dan menyampaikan berbagai hal yandg disampaikan pengarang. Ia dapat berupa ide, gagasan, nilai-nilai, sikap, dan pandangan hidup, kritik, pelukisan,penjelasan, dan pengiformasian, namun demi kebagusan cerita, yang  kesemuanya dipertimbangkan dapat mencapai tujuan artistik.
c.       Sudut pandang sebagai penonjolan. Penulisan karya fiksi, seperti pada umumnya penulisan penulisan sastra, tak pernah lepas dari peyimpangan dan pembaharuan, baik hanya meliputi satu-dua elemen tertentu maupun sejumlah elemen sekaligus dalam sebuah karya.

2.      MACAM SUDUT PANDANG
            Pembedaan sudut dapat dilihat dari bagaimana kehadiraan cerita itu kepada pembaca, lebih bersifat pencitraan, telling atau penunjukan, showing, naratif atau dramatik. Pembedaan sudut pandang yang akan dikemukakan berikut berdasarkan pembedaan yang telah umum dilakukan orang, yaitu bentuk persona tokoh cerita persona ketiga dan persona pertama.
a.      Sudut pandang persona ketiga: “dia”. Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah: seseorang yang berada diluar ceritayang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat  kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya. Di satu pihak pengarang, narator, dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”, jadi bersifat mahatahu, di lain pihak ia terikat, mempunyai keterbatasan ”pengertian” terhadap tokoh “dia” yang diceritakan itu, jadi bersifat terbatas, hanya selaku pengamat saja.
b.      Sudut  pandang  persona pertama: “Aku”. Narator adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita.Ia adalah si “Aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan serta sikapnya terhadap orang lain kepada pembaca. Dan bersifat eksternal, maka narator dapat mengambil sikap terbatas atau  tidak  terbatas, tergantung keadaan keadaan cerita yang akan dikisahkan.
c.       Sudut pandang campuran. Penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran itu di dalam sebuah novel, mungkin berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik ”dia” mahatau dan “dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik “aku” sebagai tokoh utama dan “aku” tambahan atau sebagai saksi, bahkan dapat berupa campuran antara persona pertama dan ketiga antara “aku” dan “dia” sekaligus.

BAB 9
BAHASA

1.      BAHASA SEBAGAI UNSUR FIKSI
a.      Bahasa sastra : Sebuah fenomena. Bahasa sastra mungkin dicirikan sebagai bahasa yang mengandung unsur emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa nonsastra, khususnya bahasa ilmiah, yang rasional dan denotatif. Ciri adanya unsur “pikiran” bukan hanya monopoli bahasa nonsastra tetapi bahasa sastra pun memilikinya. Sebaliknya ciri unsur emotif  pun bukan hanya monopoli bahasa sastra.
b.      Stile dan stilistika. Stile dan hakikat stile. Stile adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengukapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Stile ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain. Stilistika dan Hakikat Stilistika. Stilistika menyaran pada pengertian studi tentang stile, kajian terhadap wujud performasi kebahasaan, khususnya yang terdapat di dalam karya sastra. Analisis stilistika biasanya dimaksudkan untuk menerangkan sesuatu, yang pada umumnya dalam dunia kesastraan untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya. Tanda-tanda stilistika berupa : Fonologi, misalnya pola suara ucapan dan irama. Sintaksis: misalnya jenis struktur kalimat. Leksikal : Pengunaan kata abstrak dan konkret. Penggunaan bahasa yang figuratif.
c.       Stile Dan Nada. Membaca sebuah novel biasanya akan merasakan adanya nada tertentu yang tersirat dari novel tersebut, khususnya yang disebabkan oleh efek pemilihan ungkapan bahasa. Nada, nada pengarang dalam pengertian yang luas, dapat diartikan sebagai pendirian atau sikap yang diambil pengarang terhadap pembaca dan terhadap masalah yang dikemukakan sebelumnya.
2.      UNSUR STILE
a.         Unsur Leksikal. Unsur leksikal yang dimaksud sama pengertiannya dngan diksi, yaitu yang mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang.
b.        Unsur Gramatikal. Unsur Gramatikal yang dimaksud  menyaran pada pengertian struktur kalimat.
c.         Retorika. Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis. Unsur retorika sendiri meliputi: pemajasan, penyiasatan struktur dan pencitraan.
d.        Kohesi. Antara bagian satu dengan bagian yang lain, atau kalimat yang satu dengan yang lain, terhadap hubungan yang bersifat mengaitkan antar bagian kalimat atau antar kalimat itu.

3.      PERCAKAPAN DALAM NOVEL
a.      Narasi dan Dialog. Pengukapan bahasa dengan gaya narasi, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah semua penuturan yang bukan bentuk percakapan, sering dapat menyampaikan sesuatu secara lebih singkat dan langsung. Gaya dialog pun hanya akan terasa hidup dan terpahami dalam konteks situasi yang dicipta dan dikisahkan lewat gaya narasi. Dengan demikian, pengungkapan bentuk narasi dan dialog dalam sebuah novel seharusnya berjalan seiring, sambung-menyambung, dan saling melengkapi.
b.      Unsur Pragmatik dalam Percakapan. Ketepatan penggunaan bahasa percakapan adalah ketepatan konteks situasi, maka bentuk percakapan dalam sebuah situasi belum tentu tepat untuk situasi yang lain.
c.       Tindak Ujar. Austin membedakan penampilan tindak ujar kedalam tiga macam  tindak yaitu:
·         Lokusi : suatu bentuk ujaran yang mengandung makna adanya hubungan antara subjek dengan  predikat, pokok dengan sebutan, atau antara topik dengan penjelasan.
·         Ilokusi: bentuk-bentuk ujaran yang dibedakan berdasarkan intonasi kalimat.
·         Perlokusi : adanya suatu bentuk pengucapan yang menyaran pada makna yang lebih dalam, yamg tersembunyi dibalik ucapan itu sendiri.


BAB 10

MORAL

1.      UNSUR MORAL DALAM FIKSI
a.      Pengertian dan Hakikat Moral. Moral  dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam wujud yang sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral (Kenny, 1996: 89). Secara umum moral menyarankan pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya: akhlak, budi pekerti, susila (KBBI,1994). Moral dalam cerita, menurut Kenny (1996: 89), biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Pesan moral sastra lebih memberatkan pada sifat kodrati manusia yang hakiki.
b.      Jenis dan Wujud Pesan Moral. Jenis ajaran moral dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia. Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia itu dapat dibedakan ke dalam persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Jenis hubungan tersebut masing-masing dapat dirinci kedalam detil-detil yang lebih khusus.


2.      PESAN RELIGIUS DAN KRITIK SOSIAL
a.      Pesan Religius dan Keagamaan. Sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Pada awal mula segala sastra adalah religius (Mangunwijaya, 1982: 11). Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum yang resmi. Religius bersifat mengatasi, lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang tampak formal, dan resmi (Mangunwijaya, 1982: 11-2). Seorang religius adalah orang yang mencoba memahami dan menghayati hidup dan kehidupan ini lebih dari sekedar yang lahiriah saja.
b.      Pesan Kritik Sosial. Hampir semua novel Indonesia mengandung unsur kritik sosial dengan intensitas yang berbeda. Banyak karya sastra yang bernilai tinggi yang di dalamnya menampilkan pesan pesan kritik sosial. Sastra yang mengandung pesan kritik dapat juga disebut sebagai sastra kritik biasanya akan lahir ditengah masyarakat jika terjadi hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial dan masyarakat.

3.      BENTUK PENYAMPAIAN PESAN MORAL
a.      Bentuk Penyampaian Langsung. Bentuk penyampaian ini identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling, atau penjelasan, expository. Dalam teknik uraian pengarang secara langsung mendeskripsikan perwatakan tokoh cerita yang bersifat “memberi tahu” atau memudahkan pembaca untuk memahaminya. Artinya moral yang ingin disampaikan kepada pembaca dilakukan secara langsung dan eksplisit. Dilihat sari segi kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan sesuatu kepada pembaca.  Teknik penyampaian langsung tersebut komunikatif, artinya pembaca secara mudah dapat memahami apa yang dimaksudkan.
b.      Bentuk Penyampaian Tidak Langsung. Dalam teknik ini pesan hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara keherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Dari segi kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan pesan, cara ini kurang komunikatif, artinya pembaca belum tentu dapat menangkap apa sesungguhnya yang dimaksudkan pengarang, paling tidak kemungkinan terjadinya kesalahan tafsir berpeluang besar.